SILAHKAN SALING CACI

Kemarin petang, Jumat, 1 November 2019.

Setelah apel pulang kerja, kami tidak langsung balik ke kediaman.

Bersama Sekretaris H Adisutrisno, Kepala Bidang (Kabid) Statistik dan Persandian Edyarsyah, dan Kabid Pelayanan Pengelola Informasi Publik (PPIP) Mohd Elkhusairi, kami mengobrol ringan.

Bincang-bincang yang tak direncanakan itu berlangsung di ruang Bidang Pak Eri, begitu setiap hari kami menyapa Kabid PPIP.

Kami berempat bercakap-cakap sambil menunggunya menyiapkan administrasi Proper (Proyek Perubahan) untuk Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat Pim III) yang harus kami tanda tangani petang itu juga.

Kepada ketiganya, kami berharap, mereka bisa menjadi contoh bagi seluruh pegawai di unit kerja masing-masing dalam meningkatkan kompetensi dan membangun semangat berkompetisi. Tentu kompetisi dimaksud adalah fair play.

“Tarik (ajak) dan motivasi terus mereka untuk meningkatkan kualitas kemampuan diri. Bangun semangat kompetisi, bukan saja di internal, tetapi juga eksternal,” harap kami.

“Kalau perlu”, sambung kami, “Tak mengapa satu sama lain saling caci. Demi kemajuan bersama, demi prestasi bersama, demi kebaikan bersama, silahkan saling caci.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (KBBI daring), salah satu sinonim caci adalah cela.

Sedangkan salah satu mudarif dari cela adalah kritik.

Esensi kritik adalah garam dalam sayur. Diperlukan.

Walau sekarang mungkin tak berisi, tapi di setiap rumah dipastikan punya tempat menyimpan garam.

Hidup tanpa kritik laksana sayur kurang garam.

Orang bisa makan walau hanya dengan garam tanpa sayur-mayur.

Di dunia tata boga, koki paham betul takaran garam untuk setiap lauk-pauk yang dimasaknya.

Walau bisa dimakan, ahli dalam seni boga juga tahu benar jika epsom salt ‘garam Inggris’ tak boleh digunakan untuk membuat penganan.

Koki dan kritikus, serupa tapi tak sama.

Bedanya banyak. Semua orang tahu itu.

Persamaannya?

Selain kedua kata itu dimulai huruf k, koki maupun kritikus sama-sama seorang ahli.

Jika koki ahli dalam seni boga, kritikus ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu.

Beberapa kritikus Indonesia ternama yang kami tahu, diantaranya Hans Bague Jassin, Emha Ainun Nadjib, dan Goenawan Soesatyo Mohamad.

Sedangkan koki terkenal dari Indonesia, diantaranya Juna Rorimpandey, Rinrin Marinka, Farah Quinn, dan Arnold Poernomo.

Beda dengan pencela atau pencaci dalam arti yang sesungguhnya yang umumnya didasari rasa iri, dengki, hasad, dan hasut.

Kritikus adalah orang penyayang. Punya kepedulian. Punya jiwa sosial yang tinggi. Ingin sesuatu itu lebih baik. Mau memberikan sumbang saran untuk menyempurnakan.

Kalau belum menghasilkan sesuatu, jangan mengkritik orang lain!

“Setiap orang yang ikut campur dalam kritik tanpa menghasilkan sesuatu sendiri adalah orang yang tidak jujur,” kata Jules Janin (1804-1874), kritikus asal Prancis penulis buku “The American in Paris”.

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki,” kata Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia (1902-1980).

Jangan takut dikritik!

“Kritik tidak pernah membunuh apa yang harus hidup,” ujar penulis, politisi, diplomat, dan sejarawan Prancis yang mendirikan Romantisisme dalam sastra Prancis, Francois Rene Chateaubriand (1768-1848).

Jangan takut dikritik!

“Orang-orang yang melontarkan kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran,” kata Cornelia Arnolda Johanna "Corrie" ten Boom (1892-1983), pejuang dan penulis kebangsaan Belanda.

Jujur, sampai saat ini kami belum banyak punya pengawal jiwa yang mau bekerja ikhlas.

Tapi, satu, dua, tiga orang ada juga. Bahkan mereka sudah menjadi deodoran (Rexona), “Setia setiap saat.”

Silahkan saling caci untuk saling asah, saling asih, dan saling asuh! #####

Bengkalis, 2 November 2019


Opini Lainnya

Tulis Komentar