Kami punya beberapa sahabat berdarah Bumi Parahyangan.
Tapi jangan salah sangka dulu. Bukan mojang Bandung atau neng geulis. Namun laki-laki tulen dan sudah berkeluarga.
Sahabat kami itu, saat ini ada yang merantau dan menikah dengan budak Bengkalis. Ada pula yang tetap tunak dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di sana.
Kata salah seorang karib kami dari Jawa Barat itu, di dalam terminologi Sunda ada sebuah peribahasa, “Kawas nulungan anjing kadempet”.
Ungkapan tersebut sama dengan sebuah peribahasa lama di Tanah Melayu; “Bagai menolong anjing terjepit”.
Maksudnya kedua kiasan itu sama.
Yaitu, seseorang yang melakukan amal kebaikan, membantu seseorang yang kesusahan, sayangnya setelah ditolong, orang tersebut malah balik menyusahkan orang yang membantunya itu.
Singkat cerita, peribahasa itu merupakan ungkapan yang ditujukan untuk orang tidak mengenal arti balas budi.
Di sekitar kita, kalau pun tak banyak jumlahnya, tapi setidaknya dan dapat dipastikan tetap ada orang yang tak mengenal arti balas budi. Termasuk kepada diri kita dan orang tersebut juga bisa keluarga kita sendiri.
Setiap manusia adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa lepas dari berinteraksi dengan sesama. Tidak jarang, dia harus membutuhkan orang lain dan demikian pula sebaliknya.
Islam, agama yang kami anut, memerintahkan umatnya untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan.
Kemudian, dalam bermuamalah, Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa berbudi luhur.
Salah satu budi luhur dimaksud adalah tidak lupa membalas budi baik orang lain dengan kebaikan pula. Bukan sebaliknya.
Setiap umat Islam, dilarang meremehkan (melupakan) kebaikan yang diberikan orang lain. Meskipun itu hanya sebesar zarah.
Lantas bagaimana kalau kita berhadapan dengan orang yang ditujukan dalam kiasan peribahasa Sunda “Kawas nulungan anjing kadempet” atau ungkapan Melayu “Bagai menolong anjing terjepit”?
Pastinya, kalau pun kita tidak mau lagi untuk menolongnya (sangat terpaksa sesuai kata hati). Tak sudi lagi berbuat baik padanya, maka jangan sampai kita membalas keburukan yang dilakukannya itu dengan hal yang setali tiga uang.
Tetaplah menjaga silaturahmi dengannya. Jangan diputuskan.
Sebab, bila kita membalas keburukannya tersebut dengan perbuatan yang seringgit dua kupang, maka itu bermakna kita justru jauh lebih buruk darinya.
Jadilah pribadi yang tenang dan menenangkan. Bukan menjadi pribadi yang gelisah dan penuh amarah.
Ingatlah! Tenang bukan berarti tak mampu. Tenang tidak identik dengan kalah. Tenang bukan pula berarti lambat.
Tenang adalah seni menyampaikan kritikan dengan bahasa yang lembut. Tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang sopan dan santun. Tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan.
Belajar untuk tetap tenang memang sulit. Dan kami masih, masih, terus belajar dan tetap belajar untuk tenang.
Semoga kelak, kami dan kita semua benar-benar bisa untuk itu. Tetap tenang dalam situasi apapun, kapanpun dan dimanapun.
Sekali lagi, semoga. Amin!
Wallahu alam bishawab! #####
Bengkalis, 13 Juni 2020