PANDAI.
Rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh.
Peribahasa itu pertama kali kami baca tahun 1975. Kurang lebih 44 tahun lalu.
Tepatnya di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tebat Agung (sekarang SD Negeri 1), Kecamatan Rambang Niru (dulu Rambang Dangku), Sumatera Selatan.
Satuan Pendidikan yang kala itu masih berdinding papan adalah tempat kami pertama kali berstatus murid, pelajar, siswa atau peserta didik.
Pandai dan pintar, pengertiannya sama. Keduanya sinonim.
Sebagai adjektiva, muradif yang lain untuk kata pandai adalah mahir, cakap, dan cerdas. Satunya lagi berilmu.
Pandai.
Pagi Sabtu, 26 Oktober 2019, ketika berbincang ringan dengan Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bengkalis Faisal Ananda, kata pandai menjadi bahan “kajian ilmiah” kami berdua.
Serta, bersama sejumlah mahasiswa di perguruan tinggi yang awalnya bernaung di bawah Yayasan Gema Bahari tersebut.
Dari mana asal muasal munculnya nama Gema Bahari, kami tahu persis sejarahnya dari A s.d. Z. Dari titik 0 (nol).
Terlepas riwayat nama Gema Bahari, pada Faisal Ananda dan mahasiswanya, sebagaimana juga kerab kami sampaikan pada sejawat di Diskominfotik saat memberikan wejangan apel masuk dan pulang kerja, sebenarnya tak ada orang yang lebih pandai dari orang lain.
“Yang ada itu orang yang lebih dahulu mengetahui. Orang yang lebih awal tahu akan sesuatu, maka dia otomatis akan menjadi orang yang lebih pandai dibanding yang lainnya,” jelas kami.
Jika pesawat udara, orang pandai itu bagaikan roda depan ketika take off alias lepas landas.
Dan, seperti roda belakang kapal terbang di kala landing atau mendarat; turun ke tanah (landasan).
Profesi yang kami ketahui tempat berkumpulnya orang pandai dengan kuantitas yang besar jumlahnya di negeri ini adalah guru.
Guru, kalau di perguruan tinggi disebut dosen. Sedangkan “dosen yang paling besar” disebut profesor; mahaguru.
Sedangkan di dunia persilatan guru disebut suhu.
Kalau ada guru kalah pandai dibandingkan muridnya, maka dapat dipastikan guru tersebut tidak mungkin bisa mengimplementasikan semboyan “Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tulada.”
Bagaimana agar bisa menjadi orang pandai?
Kuncinya ada pada kata kedua peribahasa di atas.
Tanpa kesungguhan dalam belajar atau menimbah ilmu, maka seseorang akan menjadi orang sebagai kata keenam peribahasa tersebut. Menjadi orang bebal.
Kemudian dan yang tak kalah penting, harus senantiasa berprinsip “jika orang lain bisa, saya lebih bisa”.
Mengapa semboyan ini harus terpatri dalam diri kita?
Sebab, jika orang lain tak bisa, minimal kita masih memiliki ‘satu bisa’ dibandingkan dirinya. Ada lebihnya.
Mengapa bukan slogan 'jika orang lain bisa, saya juga bisa?'
Karena, jika orang lain tak bisa, kita juga akan sama. Tak juga dapat.
Sebab, ‘bisa’ yang dimilikinya tak berbeda jumlahnya dengan yang kita punya. Setali tiga uang.
Orang pandai, menurut penulis novel “Di Bawah Naungan Cahaya-Mu”, Desi Puspitasari, tidak cuma masalah bakat.
“Orang pandai karena mau belajar dan latihan”, kata penulis kelahiran Madiun, Jawa Timur yang juga penulis novel “Kutemukan Engkau di Setiap Tahajudku”.
Aristoteles, filsuf dari Yunani (384 SM-322 SM) mengatakan, “Keunggulan adalah sebuah seni yang dimenangkan oleh latihan dan kebiasaan.”
Sementara Haqi Achmad, penulis skenario film “3600 Detik” berkata, “Kalau mau jadi hebat, kita harus rajin latihan.”
Pandai.
Jadi orang pandai itu tak akan merugi.
Insyaallah, lambat atau cepat, orang pandai diperlukan dan dicari-dicari.
Di Satuan Pendidikan (sekolah) contohnya. Kebanyakan guru hanya menyukai anak-anak yang pandai.
Mengapa demikian?
Untuk pertanyaan tersebut, meskipun kami memiliki ijazah Akta IV, kami tak bisa menjawabnya. Kami bukan guru.
Namun begitu, pesan Benjamin Franklin, negarawan dan ahli fisika dari Amerika Serikat (1706-1790), ada satu orang pandai yang tak perlu ditiru.
Yaitu, orang yang pandai berdalih.
Sebab, “Orang yang pandai mencari-cari alasan jarang pandai dalam hal lainnya”, kata penemu odometer (alat untuk mengukur jarak yang ditempuh oleh kendaraan mobil dan sebagainya) dan penangkal petir tersebut.
Jadilah orang pandai. Tapi jangan jadi orang pintar. Datanglah ke orang pandai, jangan ke orang pintar.
Karena, walaupun pandai mudarif pintar, namun makna orang pandai dengan arti orang pintar tidaklah sama. Tak sinonim.
Rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh.
Sampai kapan pun peribahasa tersebut, tak lekang oleh waktu. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. #####
Bengkalis, 26 Oktober 2019