Selain tetap dinamakan pahat, dalam bahasa Sunda (Jawa Barat) pahat disebut juga ‘tatah’. Sedangkan dalam bahasa Minangkabau/Padang (Sumatera Barat), pahat adalah ‘paek’. Adapun dalam bahasa Inggris, sinonim pahat ini adalah ‘chisel’.
Meskipun bukan tukang (pembuat rumah, patung atau ukiran), rasanya kebanyakan orang kenal atau tahu dengan pahat. Pahat adalah perkakas atau pertukangan berupa bilah besi yang tajam atau ‘landap’ (bahasa Banjar) pada ujungnya.
Pahat digunakan untuk melubangi atau mengukir benda keras seperti kayu, batu, atau logam. Pegangannya dibuat dari kayu atau logam.
Dalam penggunaannya, pahat ditekan pada bahan untuk memotong bahan tersebut. Dorongan dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan tukul (bukan Tukul Arwana) atau palu (martil).
Kemarin, Senin, 22 Januari 2018, saat rapat bersama teman-teman di Bidang Sumber Daya Komunikasi dan Informasi (SDKI), serta Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik (PPIP), pahat ini kami “bawa” dalam Ratas (rapat terbatas) tersebut. Begitu juga ketika memimpin apel masuk kerja tadi pagi, Selasa, 23 Januari 2018.
Kami “bawa” dimaksud bukan sebagai ‘sajam” alias senjata tajam. Tapi untuk dijadikan tamsil, perumpamaan, contoh atau kias buat memotivasi teman-teman di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Kabupaten Bengkalis.
“Bekerja itu jangan seperti pahat, kalau tidak ditukul tidak makan,” itulah peribahasa yang kami sampaikan kepada sejawat di Diskominfotik dalam Ratas dan tadi pagi, yang artinya, “Mau bekerja hanya jika diberi perintah saja”. Tak ada inisatif.
Kepada para sejawat (tentunya yang ikut apel), dalam bekerja jangan semata-mata menunggu instruksi pimpinan. Tetapi juga harus punya prakarsa. Tentunya, ikhtiar atau jemput bola dimaksud dalam artian nan positif. Mesti sesuai dengan kewenangan atau tanggungjawab yang dimiliki.
Pentingnya memiliki prakarsa dalam bekerja ini kami sampaikan, karena kami pernah membaca pesan penulis buku “The Magig of Bic Thinking” (Berpikir dan Berjiwa Besar) dari Amerika Serikat yang meninggal dunia 6 Desember 1987, David J. Schwartz (David Joseph Schwartz).
Kata professor dari Georgia State University, Atlanta kelahiran 23 Maret 1927 ini; “Orang yang mengambil inisiatif adalah yang memimpin, selalu dalam pihak yang menguntungkan, ia tahu apa yang harus diperbuatnya, orang yang mengambil inisiatif akan mendapat banyak keuntungan.”
Selain itu, pentingnya inisiatif itu kami sampaikan, agar para sejawat di Diskominfotik menjadi orang sukses. Setidaknya dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari.
“Orang-orang sukses bergerak atas inisiatif mereka sendiri dan mereka tahu menuju kemanakah mereka sebelum memulai,” demikian menurut penulis buku “Success Through a Positive Mental Attitude” yang pernah menjadi penasihat Presiden Franklin D. Roosevelt sejak 1933 sampai 1936. Siapa dia? Tak lain dan tak bukan adalah Napoleon Hill.
Di bagian lain, kami juga berpesan, kalau memang terpaksa dan benar-benar tak bisa dielakkan, maka kalau ingin jadi pahat juga, jadilah ‘paek” yang tajam. Jangan jadi ‘tatah’ majal atau tumpul alias tak tajam. Karena pahat tajamlah yang akan sangat membantu seorang pemahat menjadikan ukiran atau patung yang dibuatnya hasilnya menjadi lebih baik.
“Pahat tumpul itu, kalau dipakai melubang kayu, bukan saja sulit atau susah (bakal menguras tenaga), tetapi juga bisa membuat kayu yang hendak dilubangi itu menjadi pecah. Selain kayu tersebut, gagang pahat juga bisa ikut pecah. Parahnya lagi, selain kayu itu dan gagangnya pecah, pahat tumpul juga bisa membuat gagang pemukulnya juga ikut patah atau pemukulnya pecah (jika terbuat dari kayu),” papar kami.
Hal itu kami kemukakan dengan maksud untuk memotivasi mereka agar senantiasa meningkatkan kompetensi diri. Selalu mengasah kemampuan dengan cara terus belajar, belajar dan belajar. “Long life education”.
Siapapun kita memang tak boleh berhenti untuk belajar, karena belajar sampai kapan pun tak pernah mengenal warna merah atau kuning yang terdapat di ‘traffic light’. Tapi hanya satu warna, warna jalan terus (hijau).
Sebab, ijazah yang kita miliki dan seberapa pun banyak jumlahnya, bukanlah rambu-rambu ‘forbidden’ (bahasa Inggris) atau ‘vorbeden’ (bahasa Belanda) yang melarang kita untuk senantiasa menuntut ilmu. Baik itu dengan kembali berguru secara formal atau pun CBSA (Cara Belajar Secara Autodidak). Lebih-lebih untuk generasi muda. Jangan pernah lelah untuk belajar.
“Wahai anak muda, jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, engkau harus menanggung pahitnya kebodohan,” begitu kata penemu hukum Pythagoras yang juga filsuf dan ahli matematika dari Yunani 580 SM-504 SM, Phytagoras.
Kita memang tak boleh seperti ‘tatah’, “paek’ atau ‘chisel’, baik dalam belajar atau bekerja. Disuruh baru memulai. Jika prinsip ini terus diamalkan, maka kita (meminjam judul film karya almarhum Teguh Karya), kita akan terus menjadi “Pacar Ketinggalan Kereta”.
Semoga ada faedahnya!
Wallahu a'lam bishawab! *****
Bengkalis, Negeri Junjungan
Selasa, 23 Januari 2018