Pencarian

Perpustakaan Bengkalis

Siapakah Sosok Tuan Guru Haji Ahmad

BENGKALIS – Sejak pertama kali diresmikan pada 11 Februari 2013, Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bengkalis belum memiliki nama. Setelah berjalan empat tahun, delapan bulan, tepatnya pada Senin 23 Oktober 2017, gedung megah di Jalan Pertanian, resmi menyandang nama Tuan Guru Haji Ahmad.

Tidak banyak yang tahu siapakah sosok Tuan Guru Haji. Selain pihak keluarga dekat dan kerabatnya, hanya segelintir orang di Negeri Junjungan ini yang mengetahui tokoh ini.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bengkalis (dikutip dari tulisan H Amrizal dan Riza Fahlevi) menyebutkan Tuan Guru Haji Ahmad lahir sekitar tahun 1885 silam di Pangkalan Jambi. Selama hidupnya, beliau dikenal sebagai tokoh ulama dan pendidikan di Negeri Junjungan Bengkalis. Hal ini terbukti dengan kegigihannya dalam mendirikan institusi pendidikan agama di Pulau Bengkalis.

Tuan Guru Haji Ahmad, pertama kali datang ke Bengkalis diajak teman-temannya untuk berdagang. Dari pulau Bengkalis, mereka membawa komiditi hasil kebun/ladang masyarakat setempat, seperti buah-buahan, palawija, serta hasil kebun lainnya untuk di perdagangkan ke Semenanjung Malaysia. Aktivitas perdagangan ini dilakukan selama hampir dua tahun.

Pada tahun 1914, Ahmad muda pergi ke negeri jiran Kedah, Malaysia untuk belajar Islam dengan ulama terkenal di daerah itu. Setelah  menyelesaikan pendidikan, Tuan Guru Haji Ahmad menunaikan rukun Islam kelima di tanah suci Mekkah.

Menurut cerita H Hasan Ahmad, putranya, dalam perjalanan ke tanah suci dari Malaysia, Ahmad berjalan kaki. Pada setiap negeri atau daerah yang lalui, Ahmad selalu singgah sambil mencari tambahan biaya dan persediaan.

Setelah menunaikan ibadah haji, Tuan Guru Haji Ahmad menetap di Mekkah selama lebih kurang tiga tahun untuk mendalami ilmu Islam dengan ulama-ulama di sana.

Sekembalinya dari tanah suci, beliau menikah dengan Rohimah binti Haji Sani, lalu menetap di Negeri Perak Malaysia. Di tempat itu, berkat ilmu yang diperoleh selama di tanah suci, Tuan Guru Haji Ahmad mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.

Pada tahun 1924, Tuan Guru Haji Ahmad kembali ke Bengkalis untuk mendirikan sekolah agama. Sekolah yang didirikan dengan sistem halaqah bertempat di masjid Paret Bangkong (sekalang masjid raya) yang terkenal dengan sebutan Masjid Batu.

Tercatat beberapa nama yang pernah menjadi murid Tuan Guru Haji Ahmad, diantaranya H Abdul Nur (Andak Dolah), H Zakaria MA, H Muhammad Sidik, H Muhammad Toha, H Ismail dan H Umar.

H Abdullah Nur baru tiba dari Langkat dan H Zakaria dari Pahang. Selain menuntut ilmu dengan Tuan Guru Ahmad, keduanya ikut mengajar di sekoleh tersebut.

Pada tahun 1937, H Zakari mendirikan sekolah Al Khairiyah yang merupakan sekolah/pondok formal di Bengkalis. Sekolah tersebut berdiri di tanah wakaf Masjid Raya di Jalan Sultan Syarif Kasim (lahan dibangun bekas Panti Asuhan Dayang Dermah). Tuan Guru Haji Ahmad juga ikut mengajar di sekolah tersebut. Namun Al Khairiyah ditutup ketika Jepang masuk ke Bengkalis.

Tuan Guru Haji Ahmad mengajar Islam pada masyarakat di berbagai masjid dan surau yang ada di Pulau Bengkalis dan sekitarnya. Meskipun tanpa dibayar alias gratis, beliau tetap ikhlas dan senang hari mengabdi.

Setiap awal bulan Ramadhan, beliau kembali ke Perak untuk berkumpul dengan isteri dan anak-anaknya. Setelah Hari Raya Idul Fitri, Tuan Guru Haji Ahmad kembali ke Pulau Bengkalis untuk menjalankan tugasnya. Selama mengajar di Bengkalis, beliau menikahi dara Bengkalis yakni Khadijah binti H Sulaiman.

Pada tahun 1930, Tuan Guru Haji Ahmad memboyong keluarganya dari Perak ke Bengkalis. Selama di Pulau Bengkalis, sosok Ahmad tak pernah lelah untuk melanjutkan aktivitas pendidikan dan dakwahnya.

Tantangan terberat yang dihadapi selama menjalan dakwah di Pulau Bengkalis, Tuan Guru Haji Ahmad menghadapi persoalan di tengah-tengah masyarakat, yakni berkembangnya ilmu hitam, khususnya sihir, racun dan sejundai yang menelan banyak korban.

Bahkan Tuan Guru Haji Ahmad pernah diancam akan “dibuat” atau “disantau” (diracun).  Namun berkat kekuatan iman dan agama yang dimilikinya, beliau selamat dari perbuatan jahat tersebut. Berkat kegigihannya dalam berdakwah, akhirnya secara perlahan-lahan ilmu hitam tersebut berangsur-angsur hilang dari tanah Bengkalis.

Selain mendirikan tempat pendidikan, Tuan Guru Haji Ahmad juga mendirikan sebuah  masjid di Pangkalan Batang yang diberi nama Masjid Al Muttaqin.

Pada saat penjajahan Jepang, aktivitas pendidikan agama terhenti, karena kegiatan atau perkumpulan dilarang. Saat itu, tokoh-tokoh ulama Islam seriang mendapat teror dan ancaman akan dibunuh. Situasi yang tidak aman dan kondusif ini menyebabkan madrasah ditutup dan Tuan Guru Haji Ahmadi kembali ke Perak.

Setelah pemerintah Jepang angkat kaki dari Indonesia, lantas Tuan Guru Haji Ahmad kembali ke Bengkalis dan melakukan aktivitas sebagaimana semula sampai menghembuskan nafas terakhir. ##DISKOMINFOTIK

Tim Redaksi