TANPA GURU TAK ‘KAN ADA KUPU-KUPU

Teks foto: Kadis Kominfotik Kabupaten Bengkalis

Guru.

Menurut penulis buku “Classroom Teaching Skills: A Primer”, Kenneth D Moore, mengajar merupakan sebuah tindakan seseorang untuk membantu orang lain mencapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin, sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Iptek).

Sedangkan mendidik menurut guru besar dan juga Rektor Universitas Brawijaya Malang (1973-1979), Darji Darmodihar (almarhum), adalah usaha untuk mengembangkan budi pekerti, semangat, kecintaan, rasa, ketakwaan, dan sebagainya (Imtak).

Tugas pokok seorang guru memang ada dua. Yaitu mendidik dan mengajar. Makanya, seorang guru disebut juga tenaga pendidik dan tenaga pengajar.

Guru merupakan sebuah profesi. Karena itu kedua tugas pokok tersebut tentu harus ditunaikan dengan profesional.

Kedua tugas pokok itu harus ditunaikan seorang guru layaknya rel. Seiring jalan. Sama dan sebangun.

Bila tidak, tak akan pernah ada satu kereta api pun yang sampai ke sebuah stasiun. Sebab itulah fungsi rel. Sebagai laluan.

Guru.

Meskipun gagal berprofesi sebagai guru, tapi kami tahu persis tugas guru. Menjadi guru itu berat. Bahkan sangat berat sekali.

Lebih-lebih bila dikaitkan dengan “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Pasalnya, semua peran yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara itu, harus dilakoninya di waktu dan tempat yang bersamaan. Baik itu sebagai tenaga pengajar maupun sebagai tenaga pendidik.

Mengajar dan mendidik memang laksana dua sisi mata uang. Tanpa sisi yang satu, keberadaan sisi yang lain tak bernilai 24 karat.

Guru.

Serupa tapi tak sama. Itulah eksistensi guru dan orang tua.

Walau berbeda, tapi seperti juga orang tua, setiap guru pasti berazam agar semua muridnya sukses di masa depan.

Untuk itu, mereka selalu membagikan ilmunya, bahkan tanpa pamrih.

Mereka mau mengajarkan siswa-siswinya dengan sabar. Menjelaskan pada murid-muridnya apa yang belum mereka mengerti.

Walau sebesar zarah, ilmu tersebut pasti akan sangat berguna bagi mereka di masa depan. Fakta yang tak bisa dipungkiri.

Guru.

Sepintar-pintarnya seseorang yang autodidak, pasti selalu ada hal yang perlu ditanyakan pada orang lain yang lebih mengetahuinya. Selain orang tua, orang lainnya tersebut adalah guru.

Bila seorang belajar tidak kepada seorang guru, melainkan kepada buku saja misalnya, maka dia tak akan pernah bisa menemukan kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur. Tak memiliki ucapan untuk mengajak bercakap-cakap.

Sebaliknya kalau belajar dengan guru, maka guru bisa menegur jika dia salah. Bila tak paham, dia bisa bertanya pada guru.

Kalau seseorang hanya belajar lewat buku, kemudian menemukan sesuatu yang muskil, sulit, sukar atau pelik, dia akan terbelengu, terkungkung atau terkurung dengan pemahaman dirinya sendiri. Benar menurut akal pikirannya sendiri.

Bila dibiarkan, maka ilmunya itu sangat berpotensi mengalami distorsi. Bahkan bisa menyimpang dari kebenaran. Menjadikannya sesat, gulita dalam terang.

Guru.

“Terpujilah engkau wahai ibu bapak guru,” begitu lirik awal lagu “Hymne Guru” ciptaan Sartono.

Profesi guru memang sangat mulia.

“Kerja seorang guru tak ubah seperti kerja seorang petani yang senantiasa membuang duri serta mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanamannya,” kata Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, atau yang lebih kita kenal sebagai Imam al Ghazali, mentamsilkan betapa luhur dan terhormatnya profesi guru.

Guru.

Setiap guru menginginkan murid-muridnya bermetamorfosis dari kepompong hingga bisa terbang dengan dua sayapnya yang indah.

Menjadi kuat dalam menguasasi Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), serta teguh dalam Imtak (iman dan takwa).

Selamat ulang tahun ke-74 Persatuan Guru Republik Indonesia.

Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2019.

Guru Penggerak Indonesia Maju.

Tanpa guru memang tak ‘kan ada kupu-kupu. #####

Batu Belah, Kampar, 24 November 2019


Berita Lainnya