Pencarian

TAK ADA BEKAS GURU, TAK ADA MANTAN MURID

“Anak-anak perhatikan ke depan kelas.”

Sebagai seorang siswa, kami yakin, dulu, kita kerab mendengar kata-kata itu.

Kata-kata itu sering diucapkan guru-guru kita, ketika mereka tengah mengajar. Menerangkan pelajaran.

Bukan hanya waktu di SD dan SMP, ketika di SMA pun, kami masih dan selalu mendengar kata-kata itu.

Kata-kata itu terkadang mereka ucapkan sambil mengetuk-mengetuk papan tulis atau meja pakai kayu penggaris (mistar) dengan keras.

Utamanya saat mereka menerangkan pelajaran, kelas sedikit gaduh. Agak ribut.

Bagi kami, kalimat tersebut memiliki makna luar biasa. Punya pesan amat sangat bernas.

Kalimat itu bukan sekedar untuk meminta, agar kami bersama teman-teman sekelas untuk fokus mengikuti pelajaran yang diterangkannya.

Lebih dari sekedar itu. Mereka sedang mengingatkan bahwa sekolah adalah rumah bagi kami.

Supaya kami tak lupa, jika mereka juga adalah orang tua bagi kami. Walau bukan sebagai orang tua kandung atau pun orang tua tiri.

Sekolah memang merupakan rumah, dan guru juga orang tua bagi setiap peserta didik. Rumah dan orang tua yang akan ikut menentukan masa depan.

Rumah dan orang tua yang sengaja ditentukan oleh orang tua setiap siswa yang sesungguhnya (kandung). Bahkan juga dipilih bersama dengan siswa tersebut.

Karena itu, sebagaimana semboyan “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, setiap guru dengan segala keterbatasan padanya, ingin murid-muridnya kelak lebih darinya.

Hanya orang tua “gagal” yang tak menghendaki keturunannya; buah hatinya, melebihinya.

Mengadopsi istilah kesehatan, kalau ada orang tua tak ingin buah hatinya lebih maju darinya, rasanya sah-sah saja bila disebut OTDGJ alias Orang Tua Dengan Gangguan Jiwa.

Begitu pula misalnya, bila ada wali murid yang memukul atau menganiaya guru di tempat anaknya sekolah.

Sebagaimana sebuah quote ‘petikan’, itu namanya “menepuk air didulang, tepercik muka sendiri.”

Sesuai ilmu keguruan dan pendidikan yang kami punya, hubungan guru dan siswa-siswinya juga pertalian batin.

Tentu ikatan batin dimaksud tak akan 100% layaknya dengan orang tua kandung mereka.

37 tahun lalu.

Ketika acara perpisahan kelas VI di SD Negeri 2 Tebat Agung, Kecamatan Rambang Niru, Muara Enim, Sumatera Selatan, ada sebuah pelajaran baik dari Kepala Sekolah kami, Pak Mahidin.

Nasihat itu tetap hangat dalam ingatan kami. Tak pernah kami lupakan. Seakan baru diucapkannya beberapa saat lalu.

“Kalian boleh tak bertemu kami lagi. Boleh membenci kami sebenci-bencinya karena tak suka cara kami mendidik. Atau, mungkin kalian nantinya tahu kami sudah tiada. Telah terbujur kaku berbantal tanah. Namun satu yang tak boleh kalian lakukan, ‘jangan panggil kami bekas guru’,” harapnya.

Petuahnya itu, pada Sabtu, 21 Mei 2016, kami “ulang tayang” di Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Bengkalis.

Waktu itu, kami didaulat mewakili kurang lebih 200 orang tua/wali murid. Diminta menyampaikan ucapan terima kasih di acara perpisahan siswa-siswi kelas IX tahun ajaran 2015/2016.

Salah satu siswa kelas IX tersebut putri sulung kami, Muthi’ah Khairun Nisa.

Terus terang, kalau bukan melaluinya, permintaan untuk itu, sudah pasti kami tolak.

Tapi itulah orang tua. Walau sebenarnya ia sadar betul tak mampu, namun tetap berupaya seoptimal mungkin mengabulkan keinginan putra-putrinya. Tak ingin sibiran tulangnya kecewa. Termasuk walau harus berhutang kanan dan kiri sekali pun.

Jadi wajar jika dalam Islam, agama yang kami yakini, melarang keras seorang anak durhaka pada orang tuanya. Itu salah satu sebabnya.

Kembali ke lorong waktu 37 tahun silam.

Kami yakin, karena tak mau disebut bekas guru, sedegil apa pun kami dan teman-teman kala itu, mereka pun tak akan tega menyebut kami mantan murid.

Kami juga sangat percaya, sampai kapan pun, mereka tak lupa lirik lagu yang kami nyanyikan di acara perpisahan hampir 4 dasa warsa itu.

“Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku, sebagai prasasti terima kasihku, ‘tuk pengabdianmu,” itulah sebagian lirik lagu dimaksud.

Bapisah bukannyo bacarai. Berpisah memang tak sama dengan bercerai, walau bercerai tentu berpisah.

Tak ada bekas anak, tak ada bekas orang tua, meskipun orang tuanya talak.

Dalam dunia pendidikan pun demikian.

Tak ada istilah bekas guru, walau pindah tempat mengajar, sudah pensiun, dan sebagainya.

Tak ada mantan murid, meski pindah sekolah, sudah lulus, dan penyebab lainnya.

Long life education. Pendidikan itu seumur hidup. Bukan seumur jagung. #####

Bengkalis, 3 November 2019

Tim Redaksi