ABU Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi.
Itulah nama lengkap seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i yang lebih kita kenal sebagai Imam Asy-Syafi'i.
Ada sebuah pesan bernasnya yang penah kami baca dan tetap teringat sampai saat ini.
Yakni, “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang, setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.”
Dalam sebuah majelis ilmu yang kita ikuti, mencatat merupakan salah satu akhlak; adab.
Dengan mencatat ilmu yang didengar, otak seseorang akan bekerja lebih optimal untuk mengingat ilmu itu.
Apabila ilmu itu sudah berada dalam ingatan, maka mudah bagi seseorang dalam menerapkan, melaksanakan, mengamalkan; menyampaikan, menyerukan, mendermakannya dan sebagainya.
Otak manusia itu tak ubahnya sebuah lading; pisau. Juga bisa tumpul. Agar otak tetap tajam (tidak mudah lupa), juga perlu terus diasah.
Gerinda atau batu asahan untuk itu, diantaranya adalah mencatat. Mencatat akan mengasah, mempertajam daya ingat.
Orang yang suka mencatat berarti ia sedang membangun istana ilmu yang megah.
Apabila lupa, ia tinggal membukanya kembali. Karena kunci istana tersebut ada ditangannya. Ia tahu persis di bilik mana ilmu itu berada, tersimpan.
Kata aktris Indonesia kelahiran 1982, Dian Sastrowardoyo, “Organ tercantik dan terseksi yang ada di manusia itu adalah otak.”
Bagaimana supaya otak kita senantiasa terlihat cantik dan seksi?
Salah satu caranya dengan menjadikan mencatat sebagai salah satu kebiasaan, sebagai budaya. Termasuk ketika mengikuti rapat. Karena rapat juga merupakan majelis ilmu.
Tentu, mencatat dimaksud bukan hanya di selembar kertas yang usai rapat lalu dilipat agar mudah dibuang di sembarang tempat. Tapi di sebuah buku catatan; di agenda.
Mengikuti rapat tanpa membawa agenda untuk mencatat, laksana pergi ke medan perang hanya membawa bedil berkarat.
Mencatat materi rapat di sehelai kertas yang mudah dilipat, tak ubahnya membangun istana megah tanpa dinding penyekat.
Mengikuti rapat dan majelis ilmu lainnya tanpa ada satu kata pun yang dicatat, berarti “melawan” kodrat dan iradat-Nya; Allah Swt.
Daya ingat manusia lemah dan terbatas. Karenanya, Islam, agama rahmatan lil alamin yang kami yakini, mengajar umatnya agar membiasakan diri untuk mencatat.
Dengan mencatat ilmu ketika di majelis, maka kita berusaha merangkum apa yang didengar dan mencatatnya. Ini membuat lebih fokus ketika mengikuti majelis ilmu dan membuat ingatan seseorang menjadi lebih kokoh.
Dan yang lebih penting dari itu, dengan mencatat berarti kita telah menunjukkan perhatian terhadap pentingnya ilmu. Memuliakannya.
Pelupa. Jika kita termasuk orang yang demikian, obatnya tak lain dan tak bukan, yakni dengan mencatat (menulis).
Bila ingin sembuh, semakin akut penyakit pelupa kita, maka semakin banyaklah kita mencatat atau menulis.
Mencatat (menulis) akan membuat otak kita kian cantik, semakin seksi.
Bila tubuh kita tak cantik, tak ganteng, tak seksi, maka jadikan otak kita cantik dan seksi. #####
Bengkalis, 20 Oktober 2019