Pencarian

KAMI DAN FADLI

FADLI.

Baik di kehidupan nyata atau di dunia maya, ada beberapa sahabat kami bernama Fadli.

Sedangkan yang di alam gaib, seingat kami, tidak (belum) ada.

Jum’at malam dan di kehidupan nyata di dunia yang fana ini, kami bertemu dua karib kami yang bernama Fadli. Salah satunya Fadli Faren alias Ombak Fadli.

Kami bertemu dengannya di rumah seorang jiran. Baik itu bertetangga dalam ke dinasan maupun sebagai sesama warga biasa. Yakni, di rumah Mas Adisutrisno.

Fadli, sesuai makna namanya dalam Alquran, memang punya banyak kelebihan dibandingkan kami. Dengan jujur harus kami akui itu.

Setidaknya, dia lebih muda dari kami dan sedikit lebih pendek tinggi badannya dibandingkan kami. Rambutnya pun lebih sedikit dari kami. Sebaliknya, janggut kami "lebih pemalu" dibanding milik Fadli.

Selain itu, kini tugas pokok dan fungsinya pun sedikit “lebih santai” dibandingkan ketika dahulu kami bertiga masih menjadi “skuad di tim yang sama”.

Seperti Fadli dan kami. Masing-masing kita punya kelebihan dan kekurangan. Dan memang begitu esensi penciptaan manusia oleh-Nya. Tak ada yang sempurna.

Setiap orang, siapapun dia, pasti punya plus dan minus. Namun, bagi yang memahaminya, justru di sinilah letak kesempurnaan seseorang. Karena kelebihan dan kekurangannya tersebut manusia menjadi lengkap; komplet.

Orang yang pandai bersyukur, dia akan merasa beruntung dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.

Karena dengan itu dia bisa menerima, tidak hanya memberi. Bisa menunggu dan ditunggu. Dapat dicintai dan bisa menyayangi. Bisa terikat dalam tali pernikahan.

Sebab, kata Desi Puspitasari, penulis novel ‘Kutemukan Engkau di Setiap Tahajudku’, “Pernikahan itu menerima pasangan dengan seluruh kelebihan dan kekurangan.”

Memang, kelebihan dan kekurangan itu bukanlah perbedaan. Tapi perpaduan. Supaya kita saling asah, saling asih dan saling asuh. Take and give. Saling melengkapi. Supaya laksana mur dan baut.

Mengapa kita terlahir memiliki cacat, bercela?

Karena yang sempurna tak menjamin bahagia, tapi saat hati bisa menerima kekurangan, di situlah jaminan bahagia.

Tentu pertama dan utamanya, hati dan kekurangan yang dimaksud, adalah hati dan kekurangan diri kita sendiri.

Sebab, kalau kita hanya fokus pada kelebihan orang lain, tak mau mengakui kelemahan diri sendiri, maka kepercayaan diri kita sulit berkembang. Sampai kapan pun kita bakal jadi pecundang. Tak pernah mengangkat tropi sebagai pemenang.

Kalau kita hanya fokus pada kelebihan orang lain, tak mau mengakui kekurangan diri sendiri, setiap hari dari pagi sampai ke pagi lagi, kita tak bisa mengayun kaki, sementara yang lain sudah jauh melambai pergi raih prestasi.

Kalau kita hanya fokus pada kelebihan orang lain, tak mau mengakui kelemahan diri sendiri, itu berarti kita tengah membangun istana megah yang nyaman untuk tempat iri dan dengki memanjakan diri. Sementara kita hanya kehujanan dan kepanasan sebagai seorang sekuriti.

“Masing-masing kita punya kelebihan dan kekurangan. Marilah saling melengkapi dan menyempurnakan untuk mencapai kebahagiaan sempurna, kebahagiaan kita bersama”, kata Achmad Mustafa Bisri, penyair dan penulis kolom dari kelahiran 1944.

Bersama Mas Adisutrisno dan Fadli yang ada di foto di bawah ini, kata-kata Achmad Mustafa Bisri tersebut tetap kami bertiga terapkan, sejak awal bersama sampai hari ini.

Bagaimana dengan Fadli yang satu lagi, yang juga bertemu kami malam Sabtu kemarin?

Jawab kami, “Insyaallah nanti akan kami tulis juga seperti ini. Tentu dengan cara sigi yang tak setali. Dari sudut pandang yang tak sesisi. Karena antara dia dan kami "ada sesuatu" yang bisa jadi inspirasi untuk ditulis dan dibagi.” #####

Bengkalis, 12 Oktober 2019

Tim Redaksi