Di ZAMAN seperti saat ini, di mana segala sesuatu nyaris diukur dengan materi, konon, kerja ikhlas menjadi sesuatu yang langka.
Pelakunya pun sering disebut aneh. Orang antik. Bahkan malah ada yang menyebutnya orang bodoh.
Setiap pekerjaan, apa pun jenis memang tak mudah. Tetap akan ada hal-hal yang membuat kita merasa capai bahkan tertekan.
Malahan, karena di dalam setiap pekerjaan dapat dipastikan selalu ada problem yang menyertainya, bekerja justru menjadi sesuatu yang menyiksa.
Orang-orang yang bila ada pimpinan disiplin dan bahkan terdisiplin, namun 180 derajat berubah bila bosnya tak ada, merupakan sebuah bukti bahwa bekerja itu sesuatu yang menyiksa.
Biasanya. Selain jangan kerja malas, kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja berkualias, seorang pimpinan di stratifikasi apapun selalu akan mengajak sejawatnya untuk senantiasa bekerja ikhlas. Untuk bekerja tulus.
Mengapa harus bekerja ikhlas?
Ikhlas merupakan wujud lain dari kata syukur. Sebagai bentuk syukur sudah mendapatkan pekerjaan.
Pasalnya, di luar sana banyak sekali orang justruh sebaliknya. Ke sana kemari, selain membawa KTP elektronik dan mungkin juga SIM, juga membawa “KTP Kuning”; Kartu Tanda Pencari Kerja.
Bagi yang memiliki posisi, kerja ikhlas sebagai bentuk terima kasih kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, atas jabatan yang diamanahkan padanya.
Pasalnya, di luar sana banyak sekali orang yang mengincarnya. Berharap secepatnya ada PAW; Pergantian Antar Waktu.
Mengapa harus bekerja ikhlas?
Mengutip quraishshihab.com, kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya.
Secara garis garis besar, seseorang itu dianugerahi Allah SWT., empat daya pokok.
Yaitu daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan.
Kemudian daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan.
Lalu, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan serta beriman dan merasakan serta berhubungan dengan Allah Sang Pencipta.
Dan daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan serta menanggulangi kesulitan.
Meskipun sederhana, penggunaan salah satu dari keempat daya itu, melahirkan kerja atau amal.
Dan, seseorang, siapa pun dia, tak mungkin dapat hidup tanpa menggunakan sedikitnya satu dari daya tersebut.
Artinya, bagi seseorang, siapa pun dia, bekerja itu adalah sebuah keniscayaan; mutlak. Bila tidak; mati.
Dalam Islam, karena ‘Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil alamin’ (diikrarkan minimal 5 kali sehari), maka penggunaan keempat daya itu adalah ibadah kepada-Nya.
Kerja adalah ibadah dan ibadah adalah kerja yang nilai karatnya ditentukan oleh kadar keihlasannya.
Jadi, kerja ikhlas bukanlah kerja bodoh, tapi kerja yang sangat pintar! Kerja yang maka tentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang juga demikian.
Yuk, meskipun tak dipedulikan orang lain, tetaplah bekerja ikhlas.
Sebab, walau tak satu pun orang mau mengakuinya, menutup mata terhadap apa pun keikhlasan yang kita lakukan, tetapi Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa, akan selalu hirau. Tak akan pernah menutup mata-Nya meski sekejab pada keikhlasan nurani kita.
Ada “petugas khusus” yang sudah mendapat SPT (Surat Perintah Tugas) abadi yang tak akan pernah lalai seujung kuku pun untuk membukukannya; Raqib.
Kerja ikhlas memang tak merugi.
Yuk, kerja tulus. Bukan asal bekerja.
Pasalnya, kata Buya Hamka, “Kalau hidup hanya sekedar hidup kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekedar kerja, kerbau di sawah juga bekerja.”
Kita memang bukan kera atau kerbau.
Yuk kerja tulus. Bukan karena tujuan pulus.
Karena, Napoleon Hill, “Seseorang yang mengerjakan lebih dari apa yang dibayar, suatu saat akan dibayar lebih dari apa yang ia kerjakan”
*****
Bengkalis, 9 September 2019