Menulis itu Jalan Dakwah

Oleh :Bagus Santoso (Wakil Bupati Bengkalis)

Waktu berjalan cepat, tak terasa genap sebulan  berkutat sebagai Wabup Bengkalis bertugas membantu Bupati. 

Ternyata padatnya kegiatan sedikit kerepotan untuk mensiasati "kegatalan" jari dan nurani menulisku.  

Tak ada pilihan waktu kecuali memanfaatkan jeda nafas alam  sempit ditengah malam, qobla dan ba'da  subuh.   Saat tersebut jadi pilihan untuk terus menulis. Meski harus mendisiplinkan diri dengan pola pergantian yang ekstrim. 

Dulu kapan saja,  ada mot langsung menulis saat ini harus ikut irama protokoler.

Alhamdulillah, semua orang punya aktifitas  berjibun. Bersyukur bersama semua umat muslim  menikmati datangnya bulan Ramadan yang sangat istimewa bagi umat Islam.

Di antara salah satu keistimewaannya bahwa pada bulan Ramadan diturunkan permulaan ayat-ayat Al-Qur’an, yakni surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berisi perintah “membaca”. 

Semua maklum  tanpa membaca seorang hamba tidak akan bisa memahami apa pun yang sedang dan akan dikerjakannya. 

Pemahaman membaca menurut hemat penulis  adalah membaca alam ciptaan Tuhan sang Maha Kuasa atas segalanya, bukan membaca secara leterlek. Sebab tidak semua orang bisa membaca huruf, angka, baik yang tersusun dalam kata kalimat maupun berdiri tunggal. 

Kata perintah “bacalah” merupakan firman pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw pada malam 27 Ramadan 611 Masehi, ketika Rasulullah sedang tafakur di Gua Hira dekat Makkah. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad menjawab lima kali, “Aku tidak bisa membaca.” Namun, Malaikat Jibril bersikeras bahwa dia harus membaca. 

Apa yang harus aku baca?” Tanya Rasulullah. “Bacalah” demikian jawaban Malaikat Jibril. “Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq [96]: 1-5). 

Perintah pertama “membaca” ini kalau dicermati dan dimaknai lebih dalam nampaknya tidak berdiri tunggal. Perintah ini diikuti “dengan perantaraan kalam.” Penggunaan “kalam” atau pena, alat yang membuat kita mengetahui “apa yang tidak kita ketahui sebelumnya,” mengisyaratkan perintah membaca tidak terpisahkan dari menulis. Karena itu, membaca dan menulis merupakan bagian penting dalam membangun peradaban sejak jaman nabi. Inilah satu jalan yang mengantarkan manusia pada kegemilangan dan kesempurnaan. 

Betapa pentingnya menulis dalam Islam, sampai lahir sumpah pena. Sebagaimana kita ketahui pena sebagai alat tulis telah digunakan oleh Allah Swt untuk bersumpah di dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 1. “Nun, wal-qalami wamaa yasthuruun (Nun, demi pena dan apa yang dituliskannya)”. 

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Ph.D. dalam tulisannya menyebut bahwa ” Wal qalam” adalah sumpah pertama Tuhan dalam Al-Qur’an yang turun tidak lama setelah lima ayat pertama, “Iqra’ bismi rabbikal- ladzii khalaq. Khalaqal-insaana min ‘alaq. Iqra’ warabbukal-akram. Alladzii ‘allama bil-qalam. ‘Allamal-insaana maa lam ya’lam. 

Hal ini menandakan betapa pena dan tulisan memiliki keutamaan di hadapan Allah Swt. Ada beberapa sufi dan para ulama menafsirkan sumpah pena ini. Aziz Al-Din Nasafi (Wafat 695 H/1295 M), seorang sufi dari Bani Kubrawi menjelaskan bahwa “nun” adalah “bak tinta”. Sedangkan “qalam” adalah “pena” yang merupakan substansi pertama. Nun sebagai bak tinta adalah tempat menyimpan tinta, merupakan kelengkapan pena untuk menulis. 

Senapas dengan itu, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dari Universitas Islam Madina menafsirkan sebagai bentuk mengagungkan aktivitas menulis yang merupakan salah satu alat mendapatkan ilmu pengetahuan. Begitu pula Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhali, Pakar fikih dari negeri Suriah menafsirkan sumpah ini adalah bagian dari pemuliaan, dan pengagungan dan penghormatan bagi pena sebagai alat tulis. 

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Ph.D. lebih jauh menjelaskan, pena atau kalam merupakan ciptaan Allah Swt yang pertama dari tiada menjadi ada melalui “kun fayakun.” Dalam sebuah hadis yang sering muncul dalam kitab-kitab tasawuf, pena ini diperintah dengan kata-kata, “Tulislah pada lingkaran pertama ini, yaitu lembaran Tuhan.” Pena lalu menjawab, “Wahai Tuhan, apa yang harus aku tulis?” Perintah berikutnya muncul, “Tulislah segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi hingga hari kebangkitan.” Pena menulis semuanya. Sesudah itu pena menjadi kering. “Tuhan telah selesai dengan penciptaan, persediaan, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.” 

Subhanallah, ya Allah, sungguh dahsyat sumpah pena-Mu. Terus terang membaca dan menulis nafas sealunan dengan detak nadi kepasrahan diri pada Dzat Abadi Ilahi. 

Tanpa membaca dan menulis seakan belum lengkah jejak kaki dibumi walau tidak setiap saat jari jemari menorehkan catatan dibalik rahasia Tuhan. 

Sungguh mulia tugas penulis-penulis terdahulu, penulis sekarang, penulis yang akan datang, yang istiqomah untuk menyebarkan Syiar kebenaran melalui tulisan. 

Bersumpah demi pena, adalah Firman Tuhan.  Maka berilah kekuatan hambamu terus mampu membaca, menulis untuk sarana ikhtiar dakwah kepada sesama dan semoga tercatat sebagai amal saleh, amin


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar