Pencarian

Branding Pulau Bengkalis Berbasis Potensi di Kawasan Perbatasan Negara

City branding atau branding kota secara sederhana dapat dikatakan sebagai identitas, citra, atau slogan kota yang menjadi ciri khas kota. Citra dari sebuah kota dapat terbentuk secara alami maupun melalui campur tangan manusia. Sebagai contoh, beberapa kota besar di Indonesia memiliki brand tersendiri sebagai ciri khas kota, seperti Bogor yang dikenal sebagai kota hujan, Yogyakarta yang dikenal sebagai sebagai kota pelajar, atau Bandung dengan sebutan kota kembang.

Di samping itu, kota-kota besar juga terus berlomba-lomba dalam membranding diri dengan hal-hal ikonik seperti makanan khas, bangunan khas, simbol khas dan hal yang semisalnya. City branding digunakan sebagai alat pemasaran kota agar semakin mudah untuk diingat dan memiliki daya tarik. Selain itu, city branding merupakan bagian dari perencanaan kota dalam upaya memperkuat identitas kota demi menarik investor, turis, sumber daya manusia yang andal, industri, serta meningkatkan kualitas hubungan antara warga dengan kota (Yananda dan Salamah, 2014).

Secara geografis, Pulau Bengkalis merupakan wilayah strategis dilalui jalur perkapalan internasional Selat Malaka, terdapat dua kecamatan dari sebelas kecamatan, yaitu Kecamatan Bengkalis dan Bantan. Memiliki luas sekitar ± 90.733 hektare terdiri dari 54 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk ±129.811 Jiwa. Selain menjadi kawasan pusat pemerintahan, Pulau Bengkalis juga menjadi Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) berdasarkan Perpres 43 tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai beranda depan negara, Pulau Bengkalis menjadi pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan dengan negara tetangga dan menjadi garda terdepan pertahanan dan keamanan negara.

Sebagai kawasan perbatasan, Pulau Bengkalis juga memiliki permasalahan pada aksesibilitas, transportasi ke pulau Bengkalis hanya bisa dilakukan lewat laut. Titik terdekat pulau Bengkalis dengan Pulau Sumatera adalah Sungai Pakning. Kapal Ro-Ro (Roll On–Roll Off) merupakan sarana terpenting untuk berpergian ke Sumatra. Selain itu, terdapat kapal cepat reguler yang menghubungkan Bengkalis dengan kota-kota lain seperti Dumai, Selat Panjang (Kabupaten Kepulauan Meranti), Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang dan Batam (Provinsi Kepulauan Riau). Pelayaran internasional juga tersedia yang berupa ferry cepat reguler dari Bengkalis ke Malaka/Muar dan akses lewat udara hanya bisa ditempuh dengan menggunakan helikopter.

Mayoritas masyarakat Pulau Bengkalis bersuku bangsa Melayu, diikuti suku Jawa, Tionghoa, Minang, Batak, serta suku lainnya. Nilai-nilai budaya Melayu masih melekat dalam kehidupan masyarakat Pulau Bengkalis dibuktikan dengan bahasa Melayu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, tradisi berbalas berpantun, gaya berbusana, serta bentuk bangunan dengan ciri khas ornamen Selembayung pada listplank atap. Masyarakat Melayu Bengkalis beragama Islam dan dalam kesehariannya identik dengan budaya Islam. Upacara-upacara tradisionalnya cenderung dengan tradisi Islam dan juga nilai-nilai kehidupan bernuansa Islami sesuai dengan falsafah Melayu yang berbunyi ”Melayu adalah Islam, apabila tidak Islam berarti tidak Melayu”.

Berbicara potensi sektoral, Pulau Bengkalis memiliki segudang potensi dan keunggulan dari berbagai sektor. Sebut saja dari sektor perikanan. Berdasarkan data Bengkalis Dalam Angka 2024, produksi ikan laut dari perikanan tangkap pada tahun 2023 sebanyak 555.09 ton dan 1,951.01 ton dari hasil budidaya.

Bengkalis pernah dijuluki sebagai Kota Terubuk. Julukan ini diambil dari nama jenis ikan dengan nama latin Tenualosa Macrura, ikan ini hidup di Selat Bengkalis. Populasi Ikan Terubuk sangat berlimpah pada sekitar 1960-an. Namun dari tahun ke tahun, populasi ikan semakin berkurang diperkirakan karena aktivitas penangkapan dan eksploitasi secara berlebihan dan penurunan kualitas perairan akibat pencemaran terutama di Sungai Siak yang merupakan lokasi pemijahan ikan atau saat ikan melepas telurnya di perairan Bengkalis.

Sungai Siak merupakan lalu lintas pelayaran yang ramai, kondisi ini mempengaruhi kelangsungan populasi ikan terubuk di wilayah tersebut. Penangkapan ikan terubuk dilakukan pada saat ikan terubuk melakukan pemijahan, dengan maksud nelayan dapat mengambil telur ikan terubuk tersebut. Telur ikan terubuk memiliki harga jual yang tinggi. Dalam kondisi kering, telur ikan terubuk dapat dijual dengan harga mencapai Rp.1 juta per kilogram.

Harga ikan yang tergolong cukup tinggi ini membuat para nelayan semakin bersemangat dalam melakukan penangkapan meskipun populasi ikan terubuk terus berkurang. Selain telurnya, daging ikan terubuk sendiri cukup lezat untuk dijadikan santapan.Terubuk juga pernah dijadikan akronim dan semboyan bagi Bengkalis yaitu Tertib, Rukun, Budaya dan Kenyamanan dengan harapan Pulau Bengkalis menjadi kota yang teratur dan nyaman bagi penduduk lokal maupun bagi pendatang.

Prasarana pendidikan di Pulau Bengkalis yang cukup memadai. Berdasarkan data Bengkalis dalam Angka 2024, setidaknya ada empat perguruan tinggi di Pulau Bengkalis yaitu Politeknik Negeri Bengkalis (Polbeng), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE). Di samping itu, terdapat tujuh sekolah menengah atas negeri dan swasta, 26 sekolah menengah Pertama negeri dan swasta dan 95 sekolah dasar negeri dan swasta.

Sebagai bentuk komitmen dalam peningkatan kualitas dan keberlanjutan sektor pendidikan, visi pembangunan 5 (lima) tahun Kabupaten Bengkalis tahun 2021-2026 yang berbunyi “Terwujudnya Kabupaten Bengkalis yang Bermarwah, Maju dan Sejahtera”, pembangunan dan peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Bengkalis menjadi salah satu fokus utama untuk membentuk image Bengkalis sebagai kota yang layak huni dan ramah bagi penuntut ilmu serta menjadi salah pusat pendidikan di Provinsi Riau.

Dari sisi kebudayaan, Pulau Bengkalis memiliki tradisi-tradisi yang unik dan menarik, sebut saja tradisi Lampu Colok. dilansir dari website resmi Kemdikbud, lampu colok atau disebut juga pelita merupakan sebuah tradisi masyarakat Kabupaten Bengkalis secara turun temurun. Lampu colok ini biasanya dipasang secara serentak pada setiap malam 27 Ramadhan atau disebut juga dengan malam 7 likur menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pada mulanya, tradisi lampu colok di daerah Bengkalis terbuat dari potongan bambu yang diberi lubang, bamboo-bambu diisi dengan minyak tanah dan sumbu dari perca kain atau pun dari tali goni (obor) yang berfungsi sebagai penerang jalan bagi warga yang akan membayar zakat fitri/fitrah ke rumah masyarakat.

Pemasangan lampu colok ini juga berfungsi sebagai penerang jalan bagi masyarakat menuju masjid atau surau. Kini, lampu colok di Bengkalis sudah menggunakan tiang kayu yang dirakit menjadi sebuah menara tempat meletakkan colok-colok yang terbuat dari kaleng-kaleng dengan berbagai model dan bentuk kreasi seperti miniatur masjid, lafaz Allah, ayat suci Al-quran dan berbagai bentuk gambar menarik lainnya sesuai dengan keinginan dan kreatifitas. Meskipun pembuatan colok di Bengkalis sudah mengalami kemajuan yang pesat, namun makna, nilai-nilai serta fungsinya masih terpelihara dan terjaga. Pemerintah Kabupaten Bengkalis melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga memfasilitasi perlombaan/festival lampu colok setiap tahunnya. Bagi desa/kelompok masyarakat yang memenangkan festival, akan diberikan hadiah berupa uang tunai dan diumumkan secara langsung oleh bupati pada acara halal bi halal kabupaten. Lampu colok ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2021.

Sebagian desa di Kecamatan Bengkalis menjadi sentra produksi kain Tenun Lejo Melayu Bengkalis sebagai bentuk pelestarian budaya berbusana khas melayu. Bergeser ke sisi barat pulau, terdapat sebuah desa bernama Meskom yang diberi julukan “Kampung Zapin”. Zapin adalah nama tarian khas melayu yang menurut sejarahnya bermula dari sebuah tarian khusus bagi kalangan istana di Kesultanan Yaman, Timur Tengah di masa silam. Nama zapin sendiri berasal dari kata "Zafn" yang dalam bahasa Arab berarti gerak cepat. Sedangkan zapin masuk ke Nusantara, sejalan pula dengan berkembangnya Islam sejak abad ke-13 Masehi. Tarian ini berkembang dan dilestarikan di kalangan masyarakat pemeluk Islam di Nusantara. Populernya tari ini tidak lepas dari nilai hiburan dan estetika yang dimiliki setiap gerakannya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis, sentra produksi kain Tenun Lejo dan Kampung Zapin ini telah ditetapkan sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya.

Dari sektor kepariwisataan, Pulau Bengkalis memiliki beberapa destinasi wisata yang tak kalah menarik. Misalnya Pantai Indah Selatbaru, pantai yang terletak di sisi utara pulau ini menjadi destinasi yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan dari luar daerah untuk melihat keindahan pantai, menikmati kuliner seafood dan dengan tujuan lainnya. Dalam rangka menjaga eksistensi dan pengembangan pantai ini, Disbudparpora membuat program pengenalan dan pewarisan kebudayaan salah satunya melalui event festival tahunan yang diberi nama Festival Budaya Bahari.

Festival Budaya Bahari ini sudah dilakukan sejah tahun 2017, awalnya dinamakan Pesta Pantai, namun sejak dua tahun belakangan penggunaan istilah berubah menjadi Festival Budaya Bahari. Festival ini diadakan di bulan Oktober setiap tahunnya di Pantai Indah Selat Baru, Kecamatan Bantan. Festival ini berisi kegiatan pementasan budaya dan perlombaan permainan tradisional yang bertujuan untuk menarik wisatawan agar berkunjung ke kawan kawasan Pantai Indah Selat Baru, apalagi saat ini kawasan tersebut baru saja rampung diperbarui sehingga pemerintah berharap masyarakat luas mengetahui keindahan Pantai Indah Selat Baru. Festival Budaya Bahari ini dijadikan ajang untuk memperkenalkan kebudayaan benda dan tak benda yang ada di Kabupaten Bengkalis. Selain itu, terdapat peninggalan sejarah berupa sebuah penjara peninggalan pada masa penjajahan Belanda yang terletak di jalan Pahlawan Kecamatan Bengkalis yang dikenal dengan sebutan Benteng Huis Van Behauring. Benteng Huis Van Behauring berfungsi sebagai penjara pada zaman Penjajahan Belanda. Mengutip dari Riauone.com, Bangunan ini dibangun pada tahun 1810 untuk memenjarakan raja, tokoh masyarakat dan siapa saja yang menentang Penjajahan Belanda. Para tahanan tidak hanya berasal dari Pulau Bengkalis, tetapi juga dari berbagai daerah di pulau Sumatera.

Pulau Bengkalis dulunya dijadikan daerah karesidenan, daerah pusat administrasi Pemerintahan Belanda yang dinamakan afdeeling (Kabupaten). Ruang tahanan terbagi lagi menjadi 25 ruangan kecil, setiap ruang-tahanan hanya ada jendela kecil yang bersel, gelap karena tidak disertai intalasi listrik sama sekali sejak awal penjajahan belanda. Sejarah mengatakan Huis Van Behauring terkenal kejamnya, para tahanan tidak hanya disiksa akan tetapi dirantai kedua kakinya, agar para tahanan tidak bisa lari. Dari situlah sebutan Benteng Huis Van Behauring sebagai Rumah Orang Rantai oleh masyarakat setempat. Bengkalis menjadi pusat keresidenan Belanda untuk wilayah Sumatera Timur sehingga dibangunlah Huis Van Behauring, kemudian Pemerintah Belanda memindahkan keresidenannya ke Deli Serdang Sumatera Utara.

Pulau Bengkalis memiliki banyak potensi dari berbagai sektor yang bisa dijadikan sebagai brand namun perlu kerjasama semua pihak baik dari pemerintah, akademisi, masyarakat umum dalam menyelesaikan persoalan yang selama ini jadi masalah di Pulau Bengkalis agar tidak mengurangi nilai jual dari Pulau Bengkalis. kemudian daripada itu, langkah berikutnya adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga dan mengembangkan sektor-sektor unggulan yang bisa menambah citra positif bagi Pulau Bengkalis sebagai kawasan yang layak huni dengan tetap mengedepankan unsur budaya melayu sebagai indentitas dan ciri khas Pulau Bengkalis sehingga menarik minat pengunjung untuk berwisata, berinvestasi, maupun tinggal dan menetap.

Seperti yang dikemukakan Putra (2021), bahwa City Branding mengharuskan sinergi dari keseluruhan unsur pembentuk kota, baik dari aspek sumber daya manusia, fasilitas umum, fasilitas sosial maupun sistem transportasi. Tanpa sinergi yang baik, upaya City Branding akan sia-sia. Fungsinya tidak hanya mencakup komunikasi pemasaran kota secara umum tetapi dapat juga mendukung strategi pengembangan seni budaya dan pariwisata, sentra industri dan perdagangan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan lain sebagainya. Dampak akumulasi dari semuanya akan turut memutar roda perekonomian dari masyarakat di kota tersebut.

Muhammad Tuah Ilham, S.T.,M.Si

Penulis adalah Penata Ruang Ahli Muda Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Bengkalis

Tim Redaksi