LATIFAH FITRI ADALAH GURU KITA

Teks foto: Kadis Kominfotik Kabupaten Bengkalis

Digendong menteri.

Kecuali anak, istri, cucu, dan anak kemanakan, tak banyak orang yang bisa digendong seorang menteri. Walau diminta sekalipun.

Apalah lagi di hadapan banyak orang. Di event bertaraf nasional. Sebuah peristiwa yang jarang terjadi.

Kalau pun ada, mungkin bisa dihitung dengan 10 jari.

Salah satu dari yang langka itu adalah Latifah Fitri.

Dia digendong Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Kabinet Maju Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Zainuddin Amali.

Latifah Fitri digendong pria kelahiran Gorontalo, 16 September 1962 itu, saat pembukaan Pekan Paralimpiade Pelajar Nasional (Peparpenas) IX Tahun 2019.

Pembukaan event yang diikuti 486 atlet dari 33 provinsi tersebut, dilaksanakan di GOR Pulogadung, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu minggu lalu, 9 November 2019 sore.

Ada 6 cabang olahraga yang dipertandingkan event yang sedianya diselenggarakan di Papua itu. Yakni, atletik, renang, bulu tangkis, tenis meja, catur dan boccia ‘olahraga bola presisi’.

Di event yang berlangsung 6 s.d. 13 November 2019 tersebut, Latifah Fitri merupakan bagian kontingen dari Provinsi Riau. Dia ikut di cabang renang.

Latifah Fitri digendong Menpora Zainuddin Amali, ketika prosesi menyalakan api ke kaldron Peparpenas IX. Saat seremoni pembukaan event setiap 2 tahun sekali itu.

Mengapa Latifah Fitri bisa digendong (bukan minta digendong) Menpora Zainuddin Amali?

Pastinya bukan disebabkan dia seorang disabilitas. Utamanya bukan karena itu.

Pasalnya, 486 atlet dari 33 provinsi yang ikut Peparpenas IX, semuanya memiliki keterbatasan. Penyandang cacat.

Prestasi. Ya, itulah yang membuat Latifah Fitri bisa mewakili Provinsi Riau. Bisa ada diantara hampir 500 atlet disabilitas dari seluruh Indonesia itu.

Meskipun difabel, tapi tanpa prestasi yang ditorehkannya di tingkat Provinsi Riau, jangankan digendong Menpora Zainuddin Amali, untuk ikut Peparpenas IX mungkin Latifah Fitri tak akan dipilih dan terpilih.

“Memiliki kekurangan fisik bukan halangan untuk berhasil, untuk berprestasi, untuk mengharumkan nama daerah,” itulah pembelajaran yang bisa dipetik dari seorang Latifah Fitri.

Latifah Fitri hanya salah satu contoh yang membuktikan, bahwa di balik keterbatasan yang dimiliki seseorang pasti ada kelebihan. Dan itu “komitmen keadilan” Allah swt.

Persoalannya, terus kuncup dengan keterbatasan, atau menjadikannya mekar dan semerbak harum. Mematamorfosisnya menjadi kelebihan untuk meraih prestasi puncak.

Untuk pilihan tersebut, Latifah Fitri tentu memilih yang kedua. Itu pasti.

Selain Lafitah Fitri, masih banyak contoh lain tempat berguru untuk sebuah prestasi yang lahir dari sebuah keterbatasan.

Ludwig van Beethoven. Pecinta musik klasik tahu betul siapa Beethoven. Musik klasik yang masih terus diputar orang hingga hari ini adalah karyanya. Dia memiliki gangguan pendengaran. Tuli. Tunarungu.

John Milton. John Milton adalah seorang penyair Inggris. Ia terkenal berkat karyanya, yang antara lain berjudul "Areopagitica”. John Milton adalah seorang yang buta. Ablepsia atau tunanetra.

Lalu, Alberta Aceng Dany Setiawan. Pria yang dilahirkan di Kampung Puntuk Sari, Wonosobo, Jawa Tengah ini, adalah “Dewa Gitar” tanpa tangan. Dia bermain gitar dengan kedua kakinya.

Nama Aceng pun tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai satu-satunya pemain gitar tanpa tangan di Indonesia.

Selain itu di Indonesia juga ada Gus Dur; KH Abdurahman Wahid (almarhum). Beliau tak sempurna penglihatannya, namun berani, bisa menjadi presiden.

Beethoven, John Milton, Aceng, Gus Dur, dan Latifah Fitri, mereka memiliki ‘kekurangan secara fisik’, tetapi mereka adalah para pahlawan jiwa.

Hati mereka lebih besar dari keadaan fisik mereka yang ‘kurang menguntungkan’.

Latifah Fitri adalah peserta didik kelas II dari SD Negeri 6 Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Guru sekaligus pelatih renang Latifah Fitri adalah Nining.

Sedangkan Kepala Satuan Pendidikan tempat dia sekolah (Kepala Sekolah) dan juga pembimbingnya bernama Zulpeni.

Keterbatasan bukanlah hambatan, tapi jembatan bagi yang tahu, tak malu, dan mau menjadikannya sirkuit balapan untuk maju, menjadi mutu.

Untuk itu, Latifah Fitri bukanlah murid kelas II. Dia adalah guru, pembimbing dan kepala sekolah buat kita. Pahlawan Masa Kini bagi kita. #####

Bengkalis, 12 November 2019.


Berita Lainnya