Urgensi Peran Ulama Dalam Membangun Tamadun

Urgensi Peran Ulama Dalam Membangun Tamadun

(Catatan Seminar Peran Ulama dalam Pembentukan Tamadun Melayu Selat Melaka)

Oleh: Bagus Santoso Wakil Bupati Bengkalis

 Berbicara tentang peran ulama dalam pembentukan Tamadun Melayu Selat Malaka, maka kita tidak bisa terlepas dari sosok ulama-ulama besar di semenanjung Selat Melaka terdahulu.

    Mana saja wilayah Selat Melaka itu? Yakani pesisir Sumatera yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka, mulai dari Banda Aceh, Loksumawe, Pedir, Idi, Tanjung Pura, Deli, Panai, Bengkalis, Bagansiapi-api, Tanjung Pinang. Wilayah-wilayah ini posisinya berhadapan langsung dengan Selat Melaka.

    Lalu kita cari siapa saja tokoh ulama besar di wilayah ini? Kita bagi tiga priode. Pertama, priode awal, yakni abad 16-17. Kedua, priode abad 18-19. Ketiga, priode abad 1920.

 Di priode awal. Ulama besar yang muncul ini berasal dari Banda Aceh. Pertama Hamzah Fansuri (diperkirakan hidup sekitar abad 16, ada yang menyebut lahir 1590), dimakamkan di Peukan Bada, Aceh Besar. Beliaulah sosok pertama ulama besar penulis kitab yang menggunakan bahasa Melayu dalam karya ilmiah.

    Berikutnya contohnya syair Burung Unggas oleh Hamzah Fansuri: Unggas itu bukannya nuri/ Berbunyi ia syahdu kala hari/ Bermain tamasya pada segala negeri/ Demikianlah murad insan sirri. Ini membuktkan bahwa bahasa Melayu sudah menjadi bahasa nusantara saat itu, dan Hamzah Fansuri mempraktikannya. Besarnya kiprah Syekh Hamzah Fansuri membuat Prof Abdul Hadi WM menggelarinya Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Bahkan Prof A Teeuw mendaulat Syekh Hamzah Fansuri sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia. Demikian besarnya jasa Hamzah Fansuri dalam membangun tamadun Melayu. Karangan Hamzah Fansuri dipengaruhi model puisi Arab dan Persia, khususnya gaya puitika mistik Ibnu al-‘Arabi. Syekh Syamsuddin Sumatrani, menyebut puisi Hamzah Fansuri sebagai ruba’i. Genre puisi Persia yang kanonnya antara lain rubayyat Umar Khayyam. Memang, ada banyak petunjuk yang mengindikasikan besarnya pengaruh sufistik Persia di dalam karya-karya Hamzah Fansuri.

   Walaupun dia lahir dipekirakan di Barus, tetapi pengaruhnya sampai ke pesisir Melaka. Buku-bukunya Syarab al-'Asyiqin, Asrar al-'Arifin, al-Muntaha, sangat terkenal, membuktikan bahwa beliau sosok ulama besar yang berpengaruh di Nusantara.

    Di wilayah Aceh, setelah Hamzah Fansuri muncul ulama-ulama besar lainnya, yakni Nuruddin Arraniry, Syamsuddin Sumatrani (murid Hamzah Fansuri), Abdul Rauf AlSingkli, sampai ke Burhanuddin penyebar Islam di Pariaman (Sumbar).

     Mereka semua level ulama klasik (abad 16-18) yang pengaruhnya sampai ke penjuru nusantara, bukan hanya di Selat Melaka, termasuk ke Kerajaan Patani (Petani) yang sekarang wilayah Melayu dikuasi oleh Thailand. Di sini muncul ulama besar Daud Al-Patani. Sayang saat ini bahasa Mereka sudah tergerus oleh bahasa Thai. Wilayah Patani termasuk di pesisir selat melaka.

    Ulama-ulama besar di abad 16-18 ini bukan hanya membangun jaringan tamadun melayu di selat melaka, tetapi luas ke nusantara, maka munculkan Abdul Somad Al-Palimbani, Nawawi Al-Bantani dan ulama besar lainnya. Mereka membangun jaringan ulama sampai ke TImur Tengah (Haramain; Makkah-Madinah). Wilayah Palembang adalah bagian ujung dari selat melaka, yang pada akhirnya bermuara ke Banten, sebagai pelabuhan besar di Jawa. 

    Tahap kedua, ulama besar yang berperngaruh di Pesisir Melaka pada abad 18-19, adalah Daud Patani (w 1847), Shaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860 – 1916), yakni ulama dari Minangkabau yang melahirkan banyak kitab dan menjadi khatib di Masjidil Haram, Raja Ali Haji (1808-meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 1873) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad XIX. Tuanku Imam Bonjol (1772–1864) yang pada gilirannya perjuangan diteruskan Tuanku Tambusai yang lahir Rokan Hulu 5 November 1784 dan wafat di Negeri Sembilan, Malaysia, 12 November 1882. Pengaruh mereka sangat besar bagi tamaddun melayu.

Ketiga, ulama-ulama besar abad 19-20 awal yang berpengaruh di Selat Melaka, M Amrullah ayah Buya Hamka (1879-1945), Buya Hamka (1908-1981), Syaikh Idris, 1896-1989. Kedua orang tuanya berasal dari Lubok Merbau, Kuala Kangsar, Perak Darul Ridzuan. Beliau merupakan penulis Kamus Marbawi (kamus Arab-Melayu). Kamusnya banyak digunakan oleh santri dan pelajar di madrasah untuk mempelajari bahasa arab. Orang tua kita dulu selalu menyimpan kamus marbawi ini, demikian besar jasanya bagi pembentukan cendikiawan di semenanjung Melaka.

    Tuan guru Syeikh Abdul Wahab Rokan (1811-1926) yang pengaruhnya sampai semananjung Malaya. Walaupun makam beliau di Basilam Langkat, tetapi asal beliau dari Rokan Hulu, dan pengaruhnya di Riau ini sangat kuat. Jasanya sangat besar dalam penyebaran tarekat di sepenjang pantai Timur Sumatera. Makanya beliau dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi. Pengaruh Abdul Wahab Rokan sampai kini masih terlihat di Riau, Sumut, bahkan ke Malaysia. Saat haul, biasanya warga negara asing, dari Malaysia banyak yang datang ke Basilam, Langkat. Di Riau, jelas terlihat bagaimana penduduk pesisir yang mengamalkan tarekat, termasuk di sepanjang Sungai Rokan (Rokan hulu-Rokan hilir), Duri dan wilayah lainnya di pesisir Selat Melaka.

 

Perlu Penelitian Jaringan Ulama Bengkalis Abad XIX-XXX

   Jika di atas saya jelaskan bagaimana jaringan ulama di selat melaka yang berpengaruh di nusantara, bahkan mereka bisa membangun jaringan ke Timur Tengah, Haramain (Makkah Madinah), maka saya di sini menjelaskan pentingnya menggali jaringan ulama di Bengkalis.

   Bengkalis memiliki banyak ulama lokal. Buya Amrizal dan Marzuli Ridwan Al Bantany telah menyelesaikan buku profil ulama kharismatik di Kabupaten Bengkalis. Kerja yang seperti ini perlu didukung agar masyarakat Bengkalis bisa mengenal ulama-ulama besar di Bengkalis. Ada Tuan Faqih Abdul Ghani, H Ustaz Mil (1918-2013), Kiyai Darwis dan lainnya. Mereka ulama yang menguasi ilmu fiqh, kitab-kita kuning dan ilmunya luas.

    Bila perlu dibuat kajian tentang jaringan ulama Bengkalis, sebab para ulama di Bengkalis ini dulunya juga menuntut ilmu ke semenjung Malaya bahkan sampai ke Jawa.

    Kita patut bersyukur kepada Kiyai Darwis di Padekik yang telah melahirkan sejumlah doktor, lihat saja Dr Zarkasi MA alumni Sudan yang saat ini menjadi dosen di UIN Suska, Ustaz Usman MA yang hafal Alquran 30 juz dan menjadi dosen Ushuluddin UIN Suska. Masih banyak lagi doktor yang lahir dari asuhan beliau.

    Begitu juga Pak Sobari di Padekik yang jasanya sangat besar dalam mendidik anak wathan Bengkalis di YPPI. Selain dia berhasil mendidik anak wathan, anak-anak beliau juga telah menjadi orang besar, ada yang menjadi Dosen di UIN Jakarta Dr Alfiah MAg, AKBP Alfis Suhaili SIK MSi yang menjadi Kapolres di Lampung, merupakan produk dari kiyai-kiyai di Bengkalis.

    Seharusnya kita pelajari bagaimana ulama-ulama, para tuan guru yang pernah hidup di Bengkalis ini belajar? Mereka dulunya merantau menuntut ilmu ke Sumbar, seperti Thawaib, Candung dan pondok lainnya, bahkan sebagian ada yang mondok ke Jawa.

    Mereka telah berhasil membentuk anak wathan di bengkalis ini menjadi orangorang yang beradab. KIta tidak bisa membayangkan bagaimana sopan santun anak-anak dulu dibandingkan sekarang. Munculnya pondok pesantren-pondok pesantren di Kabupaten Bengkalis saat ini patut diapresiasi, ada yang mengirim anak wathan nyantri ke Jawa, adalah usaha yang besar dampaknya bagi Bengkalis ke depan. 

Membangun Tamaddun Melayu

    Tamadun artinya peradaban, berbeda dengan tsaqofah (kebudayaan). Jika kata tamaddun disandingkan dengan Melayu, berarti maknanya Peradaban Melayu.

    Iya benar, melayu memiliki peradaban, bukan lagi tsaqofah (kebudayaan) saja tetapi peradaban. Peradaban itu kumpulan dari budaya-budaya yang ada, misalnya budaya pakaian, budaya tari, budaya bahasa, rumah/bangunan, perikanan, berladang dan lainnya. Kumpulan dari sejumlah budaya itulah akhirnya melahirkan peradaban (tamadun).

    Lalu apa peran ulama dalam membentuk peradaban itu? Peran mereka sangat penting, kita saksikan bagaimana Raja Ali Haji menulis Gurindam XII dengan pilihan kata yang sarat penuh makna. Sehingga membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.

    Kita bersyukur bahwa peradaban Melayu ini dibangun bersendikan syara' yang merujuk pada kitabullah. Di sinilah peran ulama, mengawasi pembangunan tamaddun melayu.

    Mari kita gali nilai-nilai pendidikan yang diajarkan ulama-ulama kita terdahulu, sehingga menjadi cermin kita dalam melangkah ke depan. Jika tidak kita yang menghargai ulama-ulama, kiyai-kiyai, tuan guru, buya dan ustad-ustad kita, lalu siapa lagi? Jika dalam tema ini membangun tamadun melayu selat malaka terlalu luas, maka dipersempit menjadi wilayah Bengkalis. Tapi tidak apa, sebab jaringan ulama kita dulu mereka diaspora ke Melaka akhirnya kembali ke Pulau Bengkalis.

    Mereka (para kiyai) ada yang berasal dari pulau Jawa merantau ke Malaysia, namun akhirnya bermukim di Pulau Bengkalis. Mereka merupakan santri, dan akhirnya menjadi guru di Bengkalis, sehingga melahirkan kita-kita ini. Mari kita bacakan surat Alfatihah kepada seluruh ulama, tuan guru, ustad yang telah membentuk karakter kita di Bengkalis ini, semoga dilapangkan dan dimuliakan Allah kubur mereka.

Kembali Mengirimkan Santri ke Timur Tengah dan Pondok Pesantren di Jawa

    Bagaimana agar kejayaan ulama-ulama terdahulu kembali muncul di Bengkalis, salah satu caranya dengan mengirimkan anak wathan menuntut ilmu ke Timur Tengah, Masir, Madinah, Makkah, Sudan, Maroko, Turki dan wilayah lainnya, agar muncul ulama-ulama besar kelak di negeri ini.

         Selain itu kita juga mengapreasiasi program beberapa pondok pesantren yang telah mengirim santrinya ke Jawa, untuk menuntut ilmu dari kitab-kitab turas yang berbahasa arab, biasa disebut dengan kitab gundul atau kitab kuning (karena warnanya kuning dan tak berbaris). Saya mengapresiasi Ustaz Suyendri di Sungai Alam yang telah mengirimkan anak-anak wathan mondok ke Jogja, Solo dan sejumlah wilayah di Jawa Timur.

 Saya masih ingat saat saya sebagai wakil ketua DPRD Bengkalis dulu, saat itu ada program mengirimkan anak wathan ke Kairo Mesir, untuk menuntut ilmu. Alhamdulillah hasilnya kini mereka sudah ada yang sudah magister dan mengajar di Bengkalis, STAIN Bengkalis dan pondok pesantren. Kelak mereka-mereka inilah yang akan menjadi ulama besar di Bengkalis.

 Di Duri kita bersyukur munculnya pondok pesantren, sekolah tinggi seperti Hubbul Wathan yang telah mencetak ustaz, buya dan cendekiawan yang mumpuni. Mereka perlu dukungan moril dan dana agar menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu, ikut dalam membangun tamadun melayu khususnya di Bengkalis yang merupakan bagian dari tamadun melayu selat melaka.

 Negeri ini bertuah karena doa dan adanya ulama-ulama terdahulu. Maka jangan abaikan mereka. Mari kita munculkan kader ulama-ulama di Kabupaten Bengkalis, agar negeri selalu guyub, harmonis, dan penuh berkah.***                                                                                     


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar