BENGKALIS -Soeman Hasibuan atau yang lebih dikenal sebagai Soeman HS adalah seorang sastrawan, guru, dan politikus berkebangsaan Indonesia. Nama aslinya Soeman Hasiboean (Suman Hasibuan).
Ia dikenal sebagai penulis dari lima novel, salah satunya dalam bentuk cerita bersambung, di antaranya Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Kasih Tersesat (1932), Tebusan Darah (1939), dan satu buku kumpulan cerita pendek yang berjudul Kawan Bergelut (1938).

Soeman juga dikenal sebagai penulis yang memperkenalkan suatu aliran penulisan kisah petualangan modern yang kuat yang dipengaruhi oleh cerita detektif barat dan dianggap memiliki keunikan dengan cerita detektif dan cerita humornya.
Soeman dilahirkan pada tahun 1904 di Bantan Tua, sebuah desa yang berada di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, sebagai anak ketiga dan putra dari tujuh bersaudara pasangan Wahid Hasibuan, seorang bangsawan di Sibuhuan yang berasal dari Kotanopan, dan Turuman Lubis yang berasal dari Sibuhuan.
Pada tahun 1912, ketika berusia tujuh tahun, ia menempuh pendidikan di Sekolah Melayu yang sekarang setara dengan sekolah dasar. Selama lima tahun dari tahun 1912 hingga 1918, Soeman menempuh pendidikan di Bengkalis.
Saat ini, minat membacanya tumbuh karena guru-guru Belanda sangat mementingkan pelajaran membaca yang didukung dengan adanya sarana bibliotik atau taman pustaka yang memadai. Buku yang disukai Soeman adalah buku cerita detektif, di antaranya terjemahan dari bahasa Perancis karya Sir Arthur Conan Doyle.
Setelah menyelesaikan pendidikan di kelas lima, ia sudah membaca semua buku cerita detektif terjemahan tersebut dan untuk memuaskan keinginan membacanya, ia menyewa buku-buku dari perpustakaan. Setelah naik ke kelas lima dan banyak membaca buku, Soeman mulai memiliki keinginan untuk menjadi pengarang. Setelah lulus dari Sekolah Melayu pada tahun 1918 dan kemudian lulus pada ujian calon guru, ia dikirim ke Medan, Sumatera Utara, untuk belajar di Normaalcursus Medan yang merupakan sekolah calon guru selama dua tahun. Di sekolah ini, Soeman bertemu dengan Muhammad Kasim yang merupakan gurunya sekaligus seorang pengarang.
Kasim kemudian menceritakan proses dirinya menulis buku kumpulan cerpen yang berjudul Teman Duduk. Sebelum lulus, pada tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan dirinya untuk melanjutkan pendidikan di Normaalschool yang berada di Langsa, Aceh.
Setelah lulus pada tahun 1923, pada usia 19 tahun, Soeman dilantik sebagai guru bahasa Indonesia di Holland Indiesche School (HIS) yang berada di Siak Sri Indrapura, Kabupaten Siak. Setelah bekerja sebagai guru, ia mulai menjadi pengarang. Soeman bekerja sebagai penulis berita di surat kabar sejak tahun 1928 dan mulai menjadi penulis pada majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru pada tahun 1929.
Ia kemudian menghasilkan beberapa novel dan cerpen serta mulai menulis puisi setelah meraih kesuksesan pada bidang prosa. Sajak-sajak yang ditulis oleh Soeman mulai diterbitkan oleh majalah Pujangga Baru dan Panji Pustaka sejak tahun 1932. Pada tahun 1929, naskah perdananya diterbitkan sebagai novel dengan judul Kasih Tak Terlarai dan kemudian menghasilkannya honorarium sebesar 37 gulden.
Pada tahun 1930, datanglah seorang guru bernama R.M. Sudewo yang berasal dari Pulau Jawa dan dipindahtugaskan ke Siak Sri Indrapura. Sudewo memperkenalkan lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu yang dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda kepada para rekannya yang merupakan sesama guru di Siak Sri Indrapura. Ketika mereka sedang berkumpul di rumah Soeman, terdapat seseorang yang mendengarkan mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan kemudian melaporkan peristiwa tersebut kepada kontrolir yang merupakan pimpinan pemerintah tertinggi di tempat tersebut.
Ketika kontrolir mendengar peristiwa tersebut, Soeman dipanggil untuk menghadap dirinya pada keesokan harinya. Sebulan kemudian, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa Soeman dipindahkan ke Pasir Pengaraian, sebuah kota kecil yang berada sekitar 200 kilometer dari sebelah barat Pekanbaru dan merupakan tempat yang dianggap sebagai tempat pembuangan pegawai pada masa tersebut.
Usai menempuh perjalanan selama 15 hari, di kota tersebut, ia menghasilkan novel keduanya yang berjudul Percobaan Setia yang naskahnya dikirimkan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931. Setahun kemudian, pada tahun 1932, Balai Pustaka menerbitkan novel ketiga Soeman yang berjudul Mencari Pencuri Anak Perawan yang menghasilkannya honorarium sebesar 75 gulden.
Tiga tahun bekerja sebagai guru di Pasir Pengaraian, ia mengajukan permohonan pindah akan tetapi tidak mendapatkan tanggapan dan kembali mengajukan permohonan tersebut setelah lima tahun namun dengan hasil yang sama. Akhirnya, keinginan Soeman untuk pindah kemudian pupus dan ia mulai berpartisipasi pada berbagai macam kegiatan di masyarakat.
Bersamaan dengan kegiatan berorganisasinya, sejak tahun 1963, ia aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menulis prosa. Beberapa puisi yang ditulisnya dikirimkan ke Jakarta dan dipublikasikan pada majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru.
Pada tahun 1938, kumpulan cerpen Soeman yang berjudul Kawan Bergelut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku cerpen ini berisi cerita-cerita lucu dan menunjukkan adanya pengaruh dari Muhammad Kasim yang karyanya berjudul Teman Duduk dijadikan inspirasi oleh Soeman sehingga membuatnya meraih honorarium sebesar 70 rupiah dari buku tersebut.
Novel terakhirnya yang berjudul Tebusan Darah yang mengangkat tema kisah percintaan muda-mudi yang berakhir dengan bahagia seperti pada novel lainnya diterbitkan pada tahun 1939 oleh penerbit Dunia Pengalaman di Medan. Sebagian besar karya Soeman diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintah Hindia Belanda, namun terdapat juga karya miliknya yang tidak lolos sensor, di antaranya naskah berupa syair yang isinya menggambarkan penderitaan petani dan nelayan pada masa tersebut yang ditolak oleh Balai Pustaka.
Meskipun dirinya gagal dalam menulis syair karena sensor dari Balai Pustaka, ia berhasil membuktikan kemampuannya dalam menulis ragam prosa dan puisi. Di sisi lain, Soeman tidak mencoba untuk menulis ragam drama karena ia kurang mampu mengolah dialog dalam drama. Dalam menghasilkan suatu novel, ia membutuhkan waktu selama satu hingga tiga bulan dengan menulis naskah menggunakan tulisan tangan sehingga harus rapi agar dapat dibaca yang mana membutuhkan waktu yang lama.
Naskah yang sudah selesai ditulis oleh Soeman kemudian dibaca ulang sambil dilakukannya perbaikan dan setelah tidak terdapat kesalahan maka naskah tersebut diselesaikan dan dikirimkan ke Balai Pustaka.
Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Soeman masih berada di Pasir Pengaraian dan mendapatkan kenaikan jabatan dari guru ke kepala sekolah dan kemudian dilantik sebagai pemilik sekolah. Sebagai anggota dari Sangikai Giin, ia pernah dituduh menghasut masyarakat agar tidak menyetorkan padi kepada Jepang bersama dengan Datuk Wan Abdurrahman karena meminta masyarakat untuk tidak menuruti kemauan Jepang yang meminta agar menyerahkan sebagian hasil ladang kepada mereka yang menurut Soeman tidak masuk akal mengingat hasil ladang masyarakat juga tidak banyak sehingga kemudian membuatnya dijatuhi hukuman mati.
Ia dan Abdurrahman juga meminta masyarakat untuk menyimpan sebagian hasil padi di rumah dan sebagiannya lagi di ladang sehingga hasil yang bisa dirampas oleh Jepang terbatas pada padi di rumah saja. Kegiatan tersebut kemudian diketahui oleh mata-mata Jepang dan Soeman dipanggil oleh kempetai yang merupakan polisi rahasia Jepang yang kemudian mengajaknya untuk berburu bersama dengan tiga orang polisi militer di hutan supaya kemudian bisa menembaknya.
Akan tetapi, sebelum pengadilan kempetai tersebut dilaksanakan, terjadi hujan selama dua hari yang kemudian menghalangi niat Jepang diikuti dengan bom atom yang telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada awal bulan Agustus 1945 yang menandai berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang, ia tidak menghasilkan karya sastra sama sekali.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Soeman memiliki niat untuk menulis kembali. Akan tetapi, proses kreatif yang dimiliki oleh Soeman perlahan-lahan mulai menghilang seiring dengan kegiatannya pada bidang politik dan pendidikan. Setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Soeman dilantik sebagai ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Pasir Pengaraian.
Pada tahun 1947, ia dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Keresidenan Riau dengan mewakili wilayah Rokan Kanan dan Rokan Kiri. Pada tahun 1948, pada saat Agresi Militer Belanda II, Soeman dilantik sebagai Komandan Pangkalan Gerilya (KPB) di daerah Rokan Kiri dan Rokan Kanan dengan pusatnya di daerah Pasir Pengaraian dan bertugas untuk mempersiapkan kebutuhan makanan dan mengusahakan perlengkapan persenjataan untuk mendukung perang gerilya.
Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 menyebabkan dirinya dipindahtugaskan ke Pekanbaru dan kemudian dilantik sebagai kepala PPK yang sekarang merupakan Kanwil P dan K di Pekanbaru dan sekitarnya serta juga merangkap sebagai Inspektur Penilik Sekolah untuk wilayah yang sama.
Soeman bertugas membangun sekolah yang rusak pada saat pendudukan Jepang dan Agresi Militer Belanda yang dirusak oleh gerilyawan Indonesia karena dikhawatirkan akan digunakan sebagai markas oleh tentara Belanda yang mana perkiraan tersebut ternyata meleset karena tentara Belanda lebih memilih untuk mendirikan tenda.
Pada saat Menteri Pendidikan dan Pengajaran, Mohammad Yamin, berkunjung ke Riau pada tahun 1956, Soeman meminta agar SMA Setia Dharma yang merupakan sekolah menengah atas swasta yang didirikan oleh dirinya diberikan tambahan pengajar yang mana ditolak oleh Yamin yang kemudian memerintahkan pendirian SMA Negeri 1 Pekanbaru setelah marah besar dengan kritik pedas yang diberikan oleh Soeman, Akan tetapi, karena kurangnya tenaga pengajar, Soeman kemudian mengajar bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Ia pensiun sebagai guru pada tahun 1961.
Pada tahun 1961, Kaharuddin Nasution terpilih sebagai gubernur pertama Provinsi Riau dan kemudian meminta kepada Menteri Dalam Negeri, Ipik Gandamana, untuk mengangkat Soeman sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) di Riau bersama dengan keempat orang lainnya sebelum dirinya pensiun.
Sebagai anggota dari BPH, Soeman bertugas untuk melaksanakan tugas gubernur ketika sedang keluar daerah dan kemudian menjelaskan rencananya untuk mendirikan universitas di Riau. Bersamaan dengan rencana tersebut, pada tahun 1962, Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) didirikan.
Usulan pendirian universitas tersebut disambut baik oleh Kaharuddin yang kemudian diikuti dengan berdirinya dua universitas dalam kurun waktu yang berdekatan, di antaranya Universitas Riau (UNRI), sebuah universitas negeri, dan Universitas Islam Riau (UIR), sebuah universitas swasta yang didirikan oleh YLPI.
Dalam kepengurusan UNRI, Soeman dilantik sebagai anggota Dewan Penyantun dan kemudian juga mendirikan taman kanak-kanak Islam, sekolah dasar Islam, sekolah menengah pertama Islam, sekolah menengah atas Islam, dan Universitas Islam di bawah lembaga pendidikan YLPI yang diketuai oleh dirinya. Ia juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Studi Sosial Budaya Melayu.
Setelah selesai menjabat sebagai anggota BPH, Soeman menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Riau pada tahun 1966 hingga 1968. Akan tetapi, tanpa sebab atau alasan yang jelas, ia ditarik kembali dari DPRD dan tidak lagi memegang jabatan dalam pemerintahan.
Pada usia tua, Soeman memimpin acara pembinaan bahasa “Seni Bahasa Indonesia” di Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru sejak tahun 1970. Pada tahun 1980, ia masih menghadiri kongres Sastra Malaysia-Riau di Kuala Lumpur. Soeman juga masih dan banyak dikirimi buku oleh para sastrawan muda dengan tujuan untuk dikoreksi akan tetapi tidak mampu melaksanakan hal tersebut karena usia tua.
Ia juga masih menyempatkan diri untuk menjadi juri pada berbagai kegiatan dan memberikan piagam kepada penulis muda dalam acara perlombaan.
Pada 9 Februari 1991, Surat Kabar Kampus Universitas Riau menyelenggarakan pameran bahasa dan sastra bertepatan dengan usia Soeman yang ke-85 tahun di Balai Dang Merdu Pekanbaru yang membahas mengenai pemikiran dan karya sastra Soeman secara mendalam dengan menghadirkan berbagai pembicara, di antaranya Hasan Junus, U.U. Hamidy MA, T.A. Ridwan, dan Usman Pelly.
Pada tahun 1993, roman Soeman yang berjudul Mencari Pencuri Anak Perawan diadaptasi sebagai sinetron dalam enam seri yang kemudian disiarkan oleh TVRI. Akan tetapi, ia kecewa dengan adaptasi tersebut karena sinetron yang mendatangkan para pemain dari Jakarta itu tidak menggunakan bahasa Melayu, melainkan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada saat mengajar di HIS Siak Sri Indrapura, Soeman membayar makanan di rumah seorang perempuan yang memiliki seorang cucu bernama Siti Hasnah yang kemudian menjadi muridnya. Ia kemudian melamarnya dan menikahinya pada tahun 1926. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tujuh orang anak, 26 orang cucu, dan enam orang cicit. Pernikahan mereka berakhir dengan kematian Hasnah pada bulan Agustus 1994.
Pada 8 Mei 1999, Soeman duduk di teras rumahnya setelah melaksanakan salat Zuhur seperti yang biasa dilakukannya. Akan tetapi, seorang pembantu di rumahnya melihat dirinya duduk dengan posisi kepala yang tergeletak dan kemudian melaporkan hal tersebut kepada anggota keluarganya. Keluarganya lalu menghubungi Tabrani Rab yang kemudian langsung datang namun tidak dapat memberikan pertolongan karena Soeman sudah meninggal dunia. Ia meninggal sekitar pukul 14:30 WIB akibat serangan jantung pada usia 95 tahun.
Menurut seorang perawat dari Rab Hospital, Soeman mengalami serangan jantung yang tidak diketahui sehingga tidak sempat memperoleh pertolongan. Menurut salah seorang menantunya, Nurliana, ia diketahui mengalami serangan jantung sejak enam bulan yang lalu namun keluhannya seperti sesak nafas tidak terdengar lagi dalam beberapa bulan terakhir.
Jenazah Soeman kemudian disemayamkan di kediamannya yang berada di Jl. Tangkuban Perahu, Sekip, dengan didatangi oleh para pelayat yang berasal dari kalangan seniman, birokrat, pendidik, cendekiawan, pengusaha, dan para anak muda. Ia lalu disalatkan di Masjid Agung Annur pada 9 Mei dan kemudian dimakamkan di Pemakaman Senapelan dengan dihadiri oleh 2000 orang warga.
Gubernur Riau, Saleh Djasit, melakukan upacara pelepasan terhadap jenazah Soeman dan menyampaikan pidato penghormatan dengan menyebut bahwa Soeman merupakan seorang tokoh yang tidak pernah berhenti untuk mengabdi kepada daerah meskipun merupakan tokoh nasional.
Pada 10 November 1966, Kaharuddin Nasution memberikan tanda penghargaan kepada Soeman atas jasa-jasanya dalam membantu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan daerah Provinsi Riau.#DISKOMINFOTIK.
