Memaknai Tradisi Nujuh Likur

Oleh: M. Subli ( Ketua DDII Bengkalis/Dosen STIE Syariah Bengkalis)
 
Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci Ramadhan, sebagai tanda syukur dan bergembira atas datangnya bulan penuh berkah. Ada cara menyambutnya dengan ramai-ramai pergi ke sungai, lalu terjun, ada juga dengan berbondong-bondong membeli “limau” atau jeruk lalu diguyur ke seluruh tubuh atau yang populer dengan sebutan mandi balimau. 
 
Bahkan hingga di penghujung bulan Ramadhan pun juga banyak ditemukan  tradisi yang berlaku secara turun-temurun sejak masa lalu, Salah satunya yang masih dilakukan namun sudah mulai redup pelaksanaannya adalah tradisi likuran atau 7 likur. Tradisi 7 likur sebenarnya adalah merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu dengan melakukan penyalaan lampu atau penerangan tradisional yang ditempatkan disekitar masjid, diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk.
 
Puncak tradisi ini berada pada malam 27 Ramadan yang dikenal dengan Istilah malam tujuh likur. Kenapa di malam tujuh likur? Hasil penagamatan penulis dari wawancara ketua Majelis Ulama Indonesia Bengkalis, Ada dua alasan; pertama di malam itu biasanya orang-orang Melayu dahulunya berbondong-bondong datang menemui tok imam untuk membayar fitrah mereka. Kedua, malam 27 Ramadan itu berdasarkan penjelasan dan pengalaman para ulama terdahulu bahwa mereka sering bertemu dengan Malam Qadr itu pada malam tujuh likur.
Pada malam puncak pelaksanaan malam 7 likur,   pada masa lalu pelaksanaannya dilengkapi dengan berbagai kegiatan oleh masyarakat diantaranya dengan saling mengunjungi ke rumah-rumah penduduk dan dihidangkan makanan atau kue tradisional dan diakhiri dengan mendoakan agar keluarga yang didatangi memperoleh limpahan rahmat, pahala dan rezeki. Hal itu dilakukan bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya selama malam 27 Ramadhan tersebut.
 
Pelaksanaan perayaan malam terakhir Ramadhan bukan sebatas simbol budaya bagi masyarakat Melayu, tetapi lebih luas yaitu dalam rangka menyambut datangnya malam seribu bulan yaitu malam Lailatul Qadar. Dimana pada masa ini setiap individu akan lebih meningkat amal dan ibadahnya. Sesuai dengan ajaran Islam, umat Islam dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam qadr tersebut dengan memperbanyak ibadah kepada Allah swt. Orang-orang melayu, seperti di Bengkalis dahulunya beramai-ramai memasang pelita di jalan-jalan dan atau membawa colok yang umumnya hari ini dikenal dengan istilah obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang bagi mereka untuk pergi ke masjid atau ke surau untuk mendirikan qiyam al-lail.
 
Dengan demikian, pemasangan lampu colok dahulunya berfungsi sebagai alat penerang jalan bagi orang-orang Melayu, yang memang ketika itu belum ada listrik, sekaligus sebagai penyemangat mereka untuk melaksanakan ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Pelita (lampu colok) adalah salah satu alat penerangan yang dipakai nenek moyang dahulu pada saat listrik belum dikenal. 
 
Seiring dengan perkembangan zaman, pemasangan lampu colok yang dahulunya bersifat tradisional, kini dikonstruksi dalam bentuk bangunan sederhana menjulang ke langit yang terbuat dari bahan dasar kayu lalu didesain sedemikian rupa sehingga membentuk motif-motif tertentu yang setelah dipasang pelita, yang terbuat dari bekas kaleng-kaleng kemasan minuman dengan   jumlahnya yang  banyak sehingga terlihat begitu indah dan menarik  di malam hari.
 
Namun, belakangan setelah terbentuknya, Pemerintah Daerah  turut serta mendukung pelaksanaan tradisi ini dengan memberikan berbagai dukungan guna memperlancar segala sesuatu berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan tradisi 7 likur ini. Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan tradisi ini, pemerintah kabupaten Bengkalis setiap tahunnya menyelenggarakan festival lampu colok dengan harapan tradisi ini bisa menjadi salah satu warisan budaya melayu Bengkalis yang bisa dikenal oleh dunia.
 
Dukungan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kegiatan tradisi ini cukup memberikan semangat bagi warga masyarakat yang akan melaksanakan tradisi ini, dari mulai dukungan dana terhadap masyarakat yang akan membuat gerbang atau gapura di berbagai tempat serta pemberian hadian terhadap gerbang atau gapura yang terlihat indah dan menarik sesuai dengan penilaian juri.
 
Ada beberapa tahapan untuk memulai tradisi ini. Tahap pertama, yaitu  persiapan, dilalui sebagai awal dari pekerjaan fisik, baik pengadaan bahan, desain gapura yang akan dibuat hingga berbagai persiapan bahan lainnya satu persatu dipersiapkan. Tahap awal dalam persiapan ini biasanya diawali dari pembagian kerja sesuai dengan kesempatan dari masing-masing anggota masyarakat, misalnya pengambil kayu atau rotan dan batang-batang kayu yang diperlukan untuk pembangunan gapura. Pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan merupakan tahap persiapan awal dari pembangunan gapura. 
 
Sesuai dengan kesepakan bahan yang akan digunakan dalam membangun gapura, maka kayu yang dikumpulkan juga disesuaikan dengan rencana pendirian gapura tersebut. Tahapan pembangunan gapura menjadi sangat penting artinya sebagai wujud fisik dari tradisi malam 7 likur, tanpa adanya bangunan gapura atau gerbang-gerbang yang dihias dengan menarik dengan nuansa Islami yang kuat maka tradisi 7 likur tidak berarti.
 
Oleh sebab itu, pengadaan gapura ini menjadi sangat penting artinya. Gapura atau gerbang yang dibangun biasanya terletak di batas kampung atau di depan jalan masuk sebagai pertanda ujud penyambutan selamat datang, tidak hanya bagi bulan Ramadahan tetapi bagi siapa saja yang berkunjung ke kampung mereka akan di jamu sedemikian rupa, khususnya pada saat malam puncak pada 7 likur atau 27 Ramadahan.
 
Setelah berbagai tahapan yang dilalui untuk pembangunan gapura selama menjelang bulan Ramadhan dan hingga memasuki bulan Ramadhan, akhirnya tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu yaitu malam puncak pelaksanaan tradisi 7 likur.
 
Istilah atau penamaan untuk menyebutkan tradisi 7 likur terkadang disebutkan dengan nama yang berbeda di setiap daerah, tetapi makna dan hakikatnya adalah sama. Seperti yang akan dilaksanakan oleh Kabupaten Bintan. Mulai tahun ini Pemerintah Kabupaten Bintan mencoba menghidupkan kembali Tradisi Lampu Cangkok yang saat ini sudah mulai redup menghiasi kehidupan masyarakatnya, sehingga perlu di gali dan dilestarikan kembali. Hal itu, bukan saja bermaksud menghidupkan tradisi budaya yang sudah mulai punah tetapi menyimpan berbagai hal positif yang bermanfaat khususnya dalam memberikan semangat kepada generasi muda untuk dapat memahami mengetahui akar budaya yang dimiliki masyarakat Melayu.
Disisi lain tentu saja banyak manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan Festival Lampu Cangkok tersebut.
 
Kemeriahan tradisi Lampu Cangkok di Kabupaten Bintan tentu tidak sama dengan daerah Bengkalis, masing-masing memiliki keunikan tersendiri yang harus dipertahankan dan dikelola dengan baik guna melestarikan tradisi tersebut. Istilah lampu cangkok sebenarnya adalah nama yang diberikan pada lampu atau istilah lainnya adalah pelita. Bentuk fisik lampu cangkok adalah lampu yang dibuat secara tradisional dari berbagai bahan seperti kaleng atau botol, bambu, sumbu, dan bahan bakar minyak tanah.
 
Lampu cangkok yang telah dibuat ditempatkan disepanjang jalan desa hingga di depan masjid tujuannya adalah untuk memberi penerangan bagi siapa saja yang ingin beribadah hingga larut malam pada bulan suci Ramadhan. Di rumah-rumah penduduk lampu cangkok akan ditempatkan di pekarangan rumah dan depan rumah dengan berbagai variasinya. Biasanya bagi keluarga yang mampu akan membuat lampu cangkok dengan berbagai variasi menghiasi rumahnya, misalnya dengan motif bintang, bulan, dan sebagainya. Pembuatan motif tersebut biasanya dibuat dari bahan kain, bambu, dan benang yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat menarik.
 
Tradisi Lampu Cangkok juga tidak terbatas pada istilah untuk penyebutan lampu atau penerangan di malam hari. Tetapi memberikan magnet bagi masyarakat Melayu dalam menyambut datangnya malam Lailatul Qadar dan meningkatkan ibadah di malam hari. Bagi anak-anak tentu saja malam tradisi lampu Cangkok akan memberikan makna yang dalam bagi merekadalam menanamkan nuansa Islami sejak dari kecil dan hal itu biasanya lebih melekat dan selalu menjadi ingatan bagi mereka setelah dewasa dalam menjalani masa kehidupannya. Hal itu tentu tidak akan didapatkan di daerah perkotaan, atau daerah yang sudah melupakan adat dan tradisi budaya yang dimilikinya.
 
Langkah yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Bintan dengan mengangkat tema tentang Tradisi Lampu Cangkok patut diacungi jempol, pasalnya tidak semua kepala daerah di Kepulauan Riau menyadari dan memahami tentang pentingknya memasyarakatkan dan melestarikan tradisi yang berbau Islami di negeri Melayu yang memiliki dasar filosopi Islami dalam kehidupannya
 
Jika kita melirik salah satu daerah di Riau, seperti di Kabupaten  Bengkalis. Pelaksanaan malam 7 likur masih dapat kita rasakan dan masih merasakan nuansa Islami dan budaya Melayu yang mengikat kehidupan masyarakatnya.  Masyarakat mengganggap bahwa nilai yang terkandung di dalam kebudayaan malam tujuh likur mempunyai nilai yang positif seperti gotong royong, kebersamaan, kekompakan, kerjasama, bersyukur atas segala rizki yang didapat dengan doa selamat, berbagi kue sehingga masyarakat mempunyai keyakinan untuk mempertahankan budaya tersebut. 
 
Penyambutan datangannya bulan suci Ramadhan ini sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak dahulu. Penyambutan kedatangan bulan suci Ramadhan dengan membuat penerangan tradisional merupakan salah satu wujud rasa kegembiraan atas datangnya bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan.
Kemudian Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur dan suka cita terhadap kedatangan bulan suci Ramadhan. Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat, segala perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tradisi ini diupayakan secara suka rela oleh masyarakat.
 
Berbagai makna tersimpan dalam pelaksanaan acara likuran atau akhir Ramadhan tidak hanya sebatas penyalaan lampu dan euphoria belaka tetapi tersirat berbagai makna dan kearifan lokal masyarakat Melayu dalam memaknai datangnya malam Lailatul Qadar. Namun seiring dengan perkembangan zaman saat ini tradisi malam likuran pada bulan Ramadhan sudah tergerus akibat berbagai hal yang terus mengikis kehidupan budaya masyarakat Melayu. Suasana hari ini sudah berbeda jauh dengan alam budaya masyarakat Melayu beberapa tahun silam.
 
Selain itu, tradisi nujuh likur juga kental dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Lampu colok seharusnya mengingatkan bahwa Ramadan segera berakhir, maka sebagai umat Islam hendaknya lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Terlebih pada malam ganjil karena pada malam itulah diyakini masyarakat datangnya lailatul qodar. Oleh karenanya, tradisi itu menjadi simbol. Dalam artian ketika diyakini bahwa penghujung Ramadan tepatnya ketika umat Islam menanti atau menunggu datangnya lailatur qadar.
 

Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar