Salah Satu Penyebab Terjadinya Konflik Adalah Suka Berasumsi

“Bang! Bisakah asumsi pribadi menjadi dasar untuk mengambil sebuah kesimpulan?”, kira-kira itulah sari, pati atau isi utama dari diskusi kami dengan seorang sahabat melalui sebuah layanan media sosial di suatu malam, belum lama ini.

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas ya atau tidak, tentu kami terlebih dahulu harus kembali pada “kitab dalil” yang memuat kata ‘asumsi’. Bersama kata ‘kesimpulan’, kata ‘asumsi’ memang menjadi inti dari pertanyaan tersebut.

Sebagai orang yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, “kitab dalil” dimaksud tentu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Asumsi merupakan salah satu lema dari 127.036 kata atau frasa dalam KBBI. Maknanya adalah dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir karena dianggap benar.

Dari arti asumsi tersebut, ada tiga kata yang mesti juga kami pahami secara baik dan benar, sebelum memberikan jawaban ya atau tidak untuk pertanyaan di atas. Kedua kata tersebut adalah ‘dugaan’ dan ‘dianggap benar’.

Arti ‘dugaan’ adalah hasil dari perbuatan menduga; sangkaan: perkiraan; taksiran. Sedangkan ‘dianggap benar’ berarti belum tentu benar; bisa benar, dapat pula meleset (salah).

Antara lema ‘benar’ dan ‘salah’ saling meniadakan (antonim), jika diberi nilai dengan menggunakan teori probolitas, maka nilai untuk ‘dianggap benar’ dan ‘dianggap salah’ adalah sama.

Bila menggunakan 100 persen sebagai nilai tertinggi, maka sesuai teori peluang dimaksud, nilai ‘diangap benar’ dan ‘dianggap salah’, sama-sama sebesar 50 persen. Begitu pula benar atau tidaknya sebuah dugaan, sebelum adanya pembuktian lebih lanjut, nilai juga ‘fifty-fifty’.

Jadi, asumsi adalah anggapan yang belum terbukti kebenarannya dan memerlukan pembuktian secara langsung.

Contoh prediksi (sinonim lain dari kata asumsi) di bawah ini:

“Pebalap Ducati, Andrea Dovizioso, finis terdepan pada MotoGP Qatar di Sirkuit Losail, Ahad, 18 Maret 2018 lalu. Rider asal Italia itu menyelesaikan balapan dengan catatan waktu 42 menit 34,654 detik.

Posisi kedua ditempati pebalap Repsol Honda, Marc Marquez, yang sempat hampir mengambil alih posisi pertama di tikungan terakhir. Sementara itu, urutan ketiga diisi pebalap Movistar Yamaha, Valentino Rossi.

Meskipun di MotorGP Qatar, Marques hanya di posisi kedua, namun bila melihat kualitas individu dan kapabilitas motor yang dimiliki juara dunia tahun 2017, pemilik nomor motor 93 itu menjadi kandidat kuat juara dunia di tahun 2018. Jika MotoGP musim ini berjalan normal, Marquez memiliki kans mengungguli para rival yang sudah mengepungnya sejak 2013 hingga musim lalu.”

Itu sedikit pengetahuan kami tentang asumsi atau prediksi.

Kesimpulan, terutama bila dikaitan dengan pendapat, maknanya adalah kesudahan pendapat (pendapat terakhir yang berdasarkan pada uraian sebelumnya).

Artinya, adalah sesuatu “hil yang mustahal” (baca hal yang mustahil) bila ada seseorang mampu membuat pendapat akhir atau membuat kesimpulan (menyimpulkan sesuatu) tanpa berdasarkan uraian sebelumnya.

Adakah santan yang dihasilkan tanpa adanya kelapa yang diparut/dikukur dan diperas?

Sejauh ini dan sepanjang yang kami ketahui, belum ada orang yang bisa menghasilkan santan dari kelapa yang masih bulat. Lebih-lebih dari kelapa yang belum dibuang sabutnya dan masih di tandan di atas pohonnya.

Adakah seseorang yang bisa menyimpulkan isi khotbah Jum’at, sementara yang bersangkutan tertidur sesaat sebelum khatib naik mimbar dan baru terjaga sesaat sebelum khatib turun dari mimbar?

Terlepas dari apa pun jawabannya dan sedikit “keluar rel”, namun berdasarkan sebuah referensi, disebutkan bahwa orang yang tidur ketika mendengarkan khutbah seperti pasukan perang yang gagal. Artinya, tak mendapatkan ‘ghanimah’ sedikit pun.

Kembali ke kata kesimpulan. Kesimpulan merupakan interpretasi (pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran) atas hasil analisis.

Pebriani Utaminingsih dalam tulisannya yang bertajuk “Cara Membuat Kesimpulan” menjelaskan bahwa dari aspek materi atau isi, kesimpulan dapat berupa inferensi dan dapat pula berupa implikasi.

Inferensi adalah kesimpulan berdasarkan referensi (rujukan yang digunakan), tidak melibatkan data secara langsung. Sedangkan implikasi adalah kesimpulan yang melibat data.

Katanya lagi, dalam sebuah karya tulis, kesimpulan menyajikan gambaran isi karya tulis yang telah diuraikan sebelumnya secara singkat dan meyakinkan.

Kalau karya tulis tersebut terdiri dari bab-bab, maka kesimpulan yang merupakan bab penutup, adalah konsekuensi (akibat) pembahasan bab-bab sebelumnya. Artinya, bab-bab dimaksud adalah sebab adanya sebuah kesimpulan.

Masih mengutip Pebriani, hal penting lainnya yang harus diketahui dalam membuat kesimpulan yang baik, yaitu kesimpulan tak boleh menyajikan hal-hal yang tak diuraikan sebelumnya dalam sebuah karya tulis tersebut.

Intinya, untuk dapat membuat kesimpulan dari apa yang dibaca, dilihat, didengar, dirasa, dan sebagainya, seseorang harus membaca, melihat, mendengar, merasa seluruh apa yang dilakukannya tersebut secara intensif (secara sungguh-sungguh), dari awal hingga akhir.

Kembali ke pertanyaan sahabat kami di atas; “Bang! Bisakah asumsi pribadi menjadi dasar untuk mengambil sebuah kesimpulan?”

Secara pribadi dan mungkin karena banyak “makan bangku pendidikan eksakta” serta tersebab kami juga memahami bahwa asumsi bukan fakta dan dalam penentuan vonis (putusan) di pengadilan yang ada hanya fakta persidangan (bukan asumsi persidangan), maka sebagai jawaban kepada sahabat kami tersebut, kami katakan bahwa: “Asumsi pribadi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan.”

Namun demikian, sebagai makhluk sosial dan tahu jika mengeluarkan pendapat tersebut adalah hak yang dilindungan undang-undangan, terhadap yang berpendapat demikian, kami juga tetap memberikan apresiasi terhadap haknya itu. Namun jika ditanya berapa ‘level trust’ untuk “ruang” yang diberikan tersebut, ya paling tinggi 50 persen.

Sadarilah, asumsi adalah asumsi bukan fakta. Asumsi hanya “pengisi celah” data. Namun demikian, kata Putu Felesia, penulis “Shadow Light (Bayangan dan Cahaya)”, dalam karyanya yang bertajuk “A Love is Fairy Tale”, mengatakan: “Sekarang ini banyak orang yang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan asumsi.”

Siapa yang dimaksudkan Putu Felesia tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah orang yang memiliki cara berpikir tidak tersistem. Orang yang demikian adalah orang yang suka berkonflik. Sebab, kata James Danar: “Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah suka berasumsi.” Suka mengedepankan prasangka.*****


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar