Bersyukur Adalah “Tangan di Bawah” yang Terbalik

Mungkin lantaran suka ‘buka sana, buka sini’, baca sana, baca sini, beberapa bulan lalu, pada suatu hari, kami pernah membaca sebuah tulisan yang mengupas salah satu hadis Rasulullah SAW., yang bertajuk “Tangan di Atas Lebih Baik dari Tangan di Bawah”.

Menurut penulisya, takhrij hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan dan Muslim tersebut adalah hadis muttafaq ‘alaih.

Apa itu takhrij hadis dan hadis muttafaq.’alaih? Jujur, kami tak paham. Pengetahuan kami tentang hal itu dangkal sekali. Jadi kami tak bisa menuliskannya dengan rinci di sini.

Namun, berdasarkan ilmu yang disampaikan Mas Zuriat Abdillah saat kami dengannya masih sama-sama “mondok” di Bagian Humas Sekretariat Daerah Bengkalis, hadis muttafaq ‘alaih adalah hadis yang perawinya selamat dari celah kekurangan dan tidak ada celaan dengan illah (cacat).

Kemudian, kata Mas Zuriat lagi, para perawi (orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad SAW), sepakat. Hanya itu yang kami ketahui. (Makasih, Mas Zuriat atas ilmunya).

Kembali ke tajuk tulisan yang pernah kami baca beberapa bulan lalu itu, jika diperas atau disarikan ke kata dasar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akan bermuara pada kata ‘beri’, atau ‘bantu’. Sinonim untuk kedua kata tersebut, adalah ,’ tolong’, ‘dukung’ atau ‘sokong’.

Kalimat ‘tangan di atas’ dalam hadis tersebut, jika diubah suai bermakna ‘orang yang memberi, membantu, menolong, menyokong atau mendukung’.

Sedangkan ‘tangan di bawah’ maknanya ‘orang yang diberi, dibantu, ditolong, disokong atau didukung’.

Mengapa seseorang diberi, dibantu, ditolong, disokong atau didukung? Sejatinya tentu disebabkan yang bersangkutan tak mampu atau tak dapat melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain dia memerlukan bantuan.

Mengapa seseorang mau membantu orang lain? Penyebabnya karena yang membantu menghormati atau menghargai yang dibantunya itu.

Tanpa adanya penghargaan atau rasa hormat kepada yang dibantu, seseorang dapat dipastikan tak akan pernah mau memberikan bantuannya.

Kalau pun ada seseorang yang mau membantu orang lain tanpa dilandari rasa hormat kepada orang tersebut, maka dapat diprognosis bahwa bantuan yang diberikannya itu tak ikhlas. Bisa jadi karena terpaksa atau dipaksa.

Kapan seseorang akan membantu orang lain? Tentu apabila segala sesuatu yang menjadi kewajibannya sudah terpenuhi. Tapi, dalam beberapa kasus mungkin jadi tak demikian adanya. Tapi orang yang termasuk pengecualian ini dapat dipastikan kuantitasnya sedikit. Hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki “the best quality”.

Oleh sebab itu, akal sehat kami sampai setakat ini belum bisa menerima bila ada orang yang mengatakan orang yang membantu orang lain meremehkan orang yang dibantunya. Kami gagal paham soal ini.

Mengapa akal sehat kami belum bisa menerima hal tersebut? Karena "hak prerogatif" dalam hal bantu membantu, beri memberi atau untuk menolong, ada pada pihak ‘tangan di atas’. Bukan pada orang yang ‘tangan di bawah’. Sepengetahuan kami sunnatullahnya begitu. Namun kalau ada yang mengatakan sebaliknya, bisa jadi karena yang bersangkutan lahir sungsang. Hehehehehe……

Apa sifat bantuan, pertolongan, pemberian, dukungan, atau sokongan yang diberikan seseorang kepada orang lain? Sebagaimana sudah disinggung sedikit di atas, sifatnya bukan wajib. Bahasa lainnya yang mungkin tepat digunakan adalah suka rela. Boleh iya, bisa juga tidak. Dalam bahasa hukum, kata yang digunakan biasanya kata 'dapat'.

Menyimpang sedikit, dalam konteks penyelenggaraan pendidikan di suatu daerah (kabupaten/kota) dimanapun di negeri ini, sepengetahuan kami yang wajib itu hanya untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Itu pun masih ada pembatasannya. Misalnya untuk penyelenggaraan pendidikan agama.

Oleh sebab itu dan karena bukan kewajiban, maka apa pun anggaran yang dialokasikan di luar penyelenggaraan pendidikan dimaksud oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota), harus "dibungkus" dengan kata bantuan atau istilah lainnya yang bersesuaian. Misalnya beasiswa, hibah dan sebagainya. Dan yang namanya bantuan, tentu tak akan pernah penuh ke atas.

Kembali lagi ke tajuk tulisan yang pernah kami baca tersebut, meskipun Rasulullah SAW., mengatakan 'tangan di atas' lebih baik dari tangan di bawah', itu bukan bermakna 'tangan di bawah' dihinakan. Sama sekali tidak. Kalau ada yang menyimpulkan demikian, itu berarti pengetahuannya tentang 'tangan di atas dan tangan di bawah', berani kami katakan masih sebatas ‘kail panjang sejengkal, tapi laut hendak diduga’.

Pasalnya, ‘tangan di bawah’ juga bisa menjadi lebih baik dari ‘tangan di atas’. Yaitu, ketika ‘tangan di atas’ tidak ikhlas, sementara yang ‘tangan di bawah’ pandai mensyukuri bantuan yang diterimanya.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'."

Begitulah firman Allah SWT., dalam surah Ibrahim (17) ayat 7 kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa betapa Allah SWT., menyayangi hamba yang pandai mensyukuri nikmat dan ancaman kepada hamba-Nya yang kufur akan nikmat-Nya.

Dalam tunjuk ajar Melayu, bentuk ajakan bersyukur dimaksud diantaranya disampaikan dalam "kalimat permintaan"; “Kalau setetes mohon dilautkan, jika sejengkal mohon dipanjangkan, bila segumpal mohon digunungkan.”

Sedangkan oleh grup band D’Masiv, ajakan untuk senantiasa berterima kasih dimaksud diantaranya disampaikan melalui lirik lagu ‘Jangan Menyerah’ seperti di bawah ini (bukankah begitu Pak ustadz H Ali Ambar?):

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasa-Nya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Jangan menyerah (6x)

Mari kita tanyakan pada diri kita. Apakah kita termasuk hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur? *****


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar