Membaca: Memindahkan Kepandaian Orang Lain Dengan Cara Singkat

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pandak, meskipun jarang kita dengar dalam bahasa tutur maupunjarang kita baca pada bahasa tulis, namun maknanya sama dengan kata pendek. Namanya juga pendek, tentu tak panjang.

Panjang. Terlepas apa asal muasalnya, saat ini, berdasarkan data, Riau bisa jadi merupakan provinsi di Indonesia dengan desa/kelurahan yang paling banyak menggunakan kata ‘panjang’ di namanya. Baik di tengah maupun di ujung.

Hingga setakat ini, setidaknya ada 16 nama desa/kelurahan di Bumi Lancang Kuning yang menggunakan antonim kata ‘pandak’ tersebut.

Ke-16 desa/kelurahan itu adalah Selat Panjang Kota, Selat Panjang Timur, Selat Panjang Barat dan Selat Panjang Selatan (Kecamatan Tebing Tinggi; Kabupaten Kepulauan Meranti).

Lalu, Batu Panjang dan Hutan Panjang (Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis), Rimba (Rimbo) Panjang (Kecamatan Tambang; Kabupaten Kampar) dan Rantau Panjang Kanan dan Rantau Panjang Kiri (Kecamatan Kubu; Kabupaten Rokan Hilir).

Di Kuantan Singingi ada 4 desa/kelurahan. Yaitu, Pulau Panjang Hulu dan Pulau Panjang Hilir (Kecamatan Inuman), Pulau Panjang Cerenti (Kecamatan Cerenti) dan Teberau Panjang (Kecamatan Gunung Toar).

Selanjutnya, di Indragiri Hilir ada 2 desa/kelurahan. Yaitu Sialang Panjang (Kecamatan Tembilahan Hulu) dan Rantau Panjang (Kecamatan Keritang). Sementara di Kota Dumai hanya 1 desa/kelurahan yaitu Gurun Panjang di Kecamatan Bukit Kapur.

Adapun desa/kelurahan yang memakai kata ‘pandak’, di Provinsi Riau hanya satu. Yaitu Kelurahan Meranti Pandak (Kecamatan Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru).

Mengapa di provinsi yang dikenal sebagai “The Home of Melayu” banyak desa/kelurahan yang menggunakan kata ‘panjang’?

Apakah itu pertanda orang Riau, khususnya kaum perempuannya suka yang “panjang-panjang”? Sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang terkait dengan hal-hal tersebut.

Terlepas dari itu, tunjuk ajar orang-orang tua Melayu memang mengajarkan agar siapa pun kita supaya berpandangan jauh ke depan dan berpikiran panjang (luas).

Karena, tulis DR (HC) H Tenas Effendy (almarhum) dalam buku Tunjuk Ajar Melayu (Butir-Butir Melayu Riau), hidup tidak hanya masa silam dan hari ini. Tetapi dan yang juga tak kalah penting (bahkan amat penting) adalah kehidupan masa mendatang, baik itu kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Apa tanda Melayu terbilang
Dada lapang pandangan panjang.

Apa tanda Melayu terbilang
Jauh memandang ke masa depan

Apa tanda Melayu bertuah
Tahu berguru pada yang sudah
Berpijak pada yang nyata
Tahu memandang jauh ke muka

Yang disebut berpikiran panjang,
Menuntut ilmu tak pernah kenyang
Tunjuk dan ajar tiada kurang
Petuah amanah tiada berkelang
Nasihat amanat tiada hilang
Hatinya lurus dadanya lapang
Bijak menghitung masa mendatang
Bijak mengira masa belakang

Masih mengutip Tenas Effendy, tunjuk ajar Melayu menunjukan pula keburukan orang-orang yang tak mau memandang jauh ke depan, berpikiran sempit; pandak akal.

Apa tanda orang yang sesat
Hati sempit pikiran singkat

Siapa berpikiran singkat
Lambat laun akan terjerat

Siapa berpikiran sempit
Lambat laun akan terjepit

Bisakah pola pikir atau ‘mindset’ seseorang diubah (dari sempit menjadi luas)? Tentu bisa. Salah satu cara untuk mengubah pola pikir dimaksud adalah dengan menambah pengalaman dan meluaskan wawasan.

Bagaimana menambah pengalaman dan meluaskan wawasan? Salah satu cara yang praktis dan mudah dilakukan dengan membaca.

Bagi yang seakidah, tentu tahu betul jika perintah membaca ada dalam wahyu pertama; Iqra’. Walaupun ditujukan lewat Nabi Muhammad SAW., yang tak pandai membaca, hal itu jelas ini menunjukan betapa pentingnya membaca.

Selain itu, tentu kita juga ingat betul bahwa di sekolah, membaca merupakan salah satu pelajaran yang pertama kali diberikan sebelum menulis dan berhitung (Calistung).

Membaca memang merupakan salah satu aktivitas yang dapat menambah pengetahuan seseorang dengan seluas-luasnya. Sayangnya, hari ini perintah membaca, pesan tersirat melalui pelajaran pertama yang diterima di sekolah tersebut, serta manfaat dari banyak membaca, banyak dicuaikan orang.

Sekedar informasi, di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Finlandia, Australia, masyarakatnya sangat gemar membaca. Salah satunya, karena masyarakatnya gemar membaca, maka negara-negara tersebut menjadi Negara maju. Bagaimana Indonesia?

Suatu hari, kami pernah ditanya seorang karib mengenai berapa lama dalam sehari kami membaca? Apa saja yang dibaca? Apa esensi membaca tersebut?

Mengenai waktu atau lamanya kami membaca dalam sehari, kami jawab tak ada ukuran. Selagi ada waktu untuk membaca, akan kami manfaatkan untuk itu.

Sementara tentang apa yang kami baca, kami jawab apa saja. Baik itu yang tersirat maupun tersurat.

Sedangkan terkait esensi membaca, kami katakan; “Coba bayangkan jika sebuah artikel (tulisan) ditulis seorang Guru Besar (Profesor) bergelar Doktor nan ternama yang ditulisnya mungkin berjam-jam atau berhari-hari, kemudian kita baca seluruh isinya dengan seksama sehingga mengerti seluruhnya dalam waktu 5 atau 10 menit. Bukankah itu bermakna sama dengan memindahkan kejeniusan, kepandaian, dan pengalaman Profesor yang Doktor tersebut ke dalam kepala kita hanya dalam waktu 5 atau 10 menit? Untung apa rugi?”

Agar memperoleh “intisari” dari apa yang dibaca, bacalah sampai tuntas. Jangan hanya judul atau tajuknya saja. Jangan sepotong-sepotong. Karena baju yang kita pakai juga dibuat dari banyak potongan kain.

Begitu pula dinding rumah kita, juga tidak disusun dari sekeping papan atau batu bata. Tapi dari banyak keping papan dan batu bata.

Selanjutnya, dalam membaca kita harus memikirkan apa yang dibaca tersebut. Mesti direnungkan.

Sebab, kata Edmund Burke, politikus dan filsuf dari Inggris (1729-1797); “Membaca tanpa memikirkannya ibarat makan tanpa mengunyah.”

“Reading without thinking is nothing,” ujar Louis L’Amour (1908-1988), penulis dari dari Amerika Serikat, yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bermakna; “Membaca tanpa berpikir adalah nol besar.”

“Membaca tanpa merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna,” terang Mohammad Hatta (1902-1980), pejuang, negarawan, tokoh proklamator, ekonom, dan juga wakil presiden pertama Indonesia.

“Biasakanlah untuk membaca. Pendekatan yang terbaik untuk mempertajam pikiranmu adalah membaca. Biasakanlah membaca sebelum tidur. Bagi otak membaca itu ibarat olahraga bagi tubuh. Membaca itu dasar dari segalanya,” pesan Stephen Covey (1932-2012), penulis dari Amerika Serikat.

Sebagai penutup, kami kutip petuah yang disampaikan raja kuis Indonesia kelahiran Palembang (Sumatera Selatan) yang sejak 29 November 2017 dipercaya sebagai Direktur Utama TVRI hingga 2022, H Helmi Yahya; “Orang yang tak banyak membaca pasti tak banyak tahu. Orang yang tak banyak tahu sangat dekat dengan kebodohan.”

Sebagai salah satu cara belajar dan lebih-lebih bagi kita tak yang sempat berkumpul dengan orang-orang pintar, mari jadikan aktivitas membaca sebagai salah satu kebutuhan dalam keseharian.

Kata Will Rogers, aktor dan humoris dari Amerika Serikat (1879-1935); “Manusia hanya mempunyai dua cara untuk belajar, satu dengan membaca dan satunya lagi berkumpul dengan orang-orang yang lebih pintar.”

Insha Allah, panjang (banyak) yang kita baca, akan banyak pula yang kita dapat. Banyak yang didapat dari membaca, banyak yang bisa kita tuliskan.

Dan Inshaa Allah juga, apa yang kita dapat dari membaca, akan menjadi “rexona”. Bakal setia setiap saat mengikuti dan menjadi sahabat sejati (ilmu) kemana pun kita pergi. Tapi tentunya, yang dibaca itu adalah yang bernas, bukan ‘sampah’; bukan yang ‘hoax’; bukan gosip.

Sebagai orang tua atau guru, mari kita budayakan gemar membaca pada anak dan murid-murid kita.

Iqra’!

Wallahu a’lam bishawab!

Bengkalis, Negeri Junjungan
Kamis, 22 Februari 2018
Negerimu, Negeriku dan Negeri Kita Bersama.


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar