Bahasa yang “Terluka”

Tidak dapat dihindari cepatnya perubahan zaman merubah segalanya, tak terkecuali penggunaan kata/bahasa sebagai sarana komunikasi massa. Indonesia sebagai negara  yang kaya mulai dari sumber daya alam, suku, adat istiadat dan bahasa  perlahan namun hampir dirasakan pasti ikut mengalami dampak perubahan tersebut.

Saat ini generasi Y atau yang lebih sering disebut dengan generasi milenial, maupun generasi Z  atau generasi yang lahir di masa teknologi berkembang kian deras usai kelahiran internet.

Kedua generasi tersebut lebih merasa “keren” menggunakan kosa kata, slogan maupun istilah-istilah bahasa asing dari pada memperkaya dan memahami kosa kata, slogan maupun istilah-istilah bahasa bangsanya sendiri.

Bukan persoalan, jika kosa kata, slogan maupun istilah-istilah bahasa asing yang digunakan bertujuan untuk memperkaya penguasaan bahasa negara lain. Namun suburnya penggunaan kosa kata, slogan maupun istilah-istilah bahasa asing dan terkadang dicampur aduk dengan bahasa resmi bangsa ini, itu yang menjadi persoalan.

Bahkan media-media nasional yang getol menyebarluaskan informasi jaga keutuhan NKRI, pun seakan “latah” ikut merangsang agar trend istilah-istilah bahasa yang “merusak” bahasa bangsa yang diikrarkan hampir 90 tahun lalu itu untuk dibudayakan.

Contoh sederhana banyak program-progam televisi yang menamakan program acaranya dengan bahasa asing, sementara konten programnya dominan bahkan hampir seratus persen bermuatan lokal-nasional. Seperti, NSI (News Story Insigh), Im_Possible, Newsline, ILC (Indonesia Lawyers Club) dan masih banyak lagi.

Di cafe, tempat/ruang pelayanan umum, bahkan di sekolah sekalipun lebih bangga menggunakan dan menampilkan istilah maupun slogan-slogan bahasa asing dari pada bahasa ibu pertiwi.

Bahkan lebih memprihatinkan lagi kebiasaan mencampur adukkan bahasa nasional dengan bahasa asing, seperti istilah anak zaman now dan lain sebagainya, juga tak luput menjadi bahan untuk melukai  bahasa yang telah disepakati para tokoh pemuda lewat Sumpah Pemuda  pada tanggal 28 Oktober 1928.

“Tak apalah”, jika slogan atau istilah itu sesekali digunakan sebagai bumbu percakapan harian antar individu. Namun yang disayangkan jika slogan atau istilah itu juga dibudayakan oleh para tokoh hingga negarawan yang padanya wajah bangsa ini bisa dibentuk.

Bisa jadi sebagian orang akan menganggap biasa kondisi seperti disampaikan di atas. Namun jika mau dipahami lebih dalam, idealnya kondisi tersebut tidak  boleh didiamkan begitu saja.

Karena bagaimana mungkin bangsa lain akan menghargai bahasa bangsa ini, jika anak bangsanya sendiri tidak peduli. Saatnya peduli dengan bersama kembali belajar bangga dan berusaha agar bahasa bangsa ini bisa menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Bahasa bangsa yang lahir dari Bahasa Melayu, memiliki banyak kosa kata, istilah, petuah dan tunjuk ajar yang tak lekang dipanas dan lapuk dihujan. Bahasa bangsa yang santun dan berwibawa, tunak dan lunak dalam ajaran tuntunan Islam sebagai agama terbesar di Nusantara.

Kita harus bangga, karena bahasa pemersatu ratusan juta warga di Nusantara ini, berasal dari bahasa Melayu. Sebagai orang yang lahir di tanah Melayu, semoga tak salah jika saya mengajak orang-orang Melayu di Negeri Junjungan Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau pada umumnya, agar menghargai bahasa persatuan. 

Jangan pernah menodai bahasa kebanggaan kita, dengan bahasa zaman now alias bahasa gaul. Jangan takut disebut kurang gaul. Karena kita punya tanggungjawab untuk mempertahankan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar