Memetik Pelajaran Dari Hujan Dalam Hujan

Jum'at pagi, 2 Januari 2018.

Sejatinya dan seperti Jum’at pada minggu-minggu sebelumnya, pagi tadi. kami kembali menunaikan salah satu kewajiban sebagai seorang pegawai. Mengikuti kegiatan senam pagi di tempat yang sama, di lapangan pasir Taman Andam Dewi/Bandar Laksamana, Bengkalis.

Namun apa hendak dikata. Bak pesan dalam makna sebuah pepatah, ‘malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih’.

Memang, segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan ini,bukan manusia yang menentukan. Manusia hanya berencana, Tapi soal berkenyataan atau tidak ‘planning’ tersebut, Dia, Ilahi Rabbi yang punya wewenang mutlak untuk itu.

Agar tak terlambat ikut senam, sebenarnya sejak pukul 06.25 WIB kami pun sudah bersiap-siap. Sudah ‘ready’. Tapi, sekitar pukul 06.35 WIB, hujan turun meskipun gerimis. Walau sempat berhenti sepuluh menit kemudian, kami memutuskan tak jadi mengikutinya.

Akan tetapi, sebelum mengurungkan niat dimaksud, kami ‘tabayyun’ terlebih dahulu ke Mas Adi Sutrisno. Hal ini kami lakukan, selain karena ajaran agama yang kami anut menganjurkan demikian, juga mungkin disebabkan dalam tubuh kami masih tersisa, masih mengalir ‘darah jurnalistik”.

Memang, saat dididik untuk menjadi pewarta di tahun 1991 oleh para senior seperti H Makmur Hendrik, H Abu Bakar Siddik (ABBS), Wahyudi El Panggabean (Wapangab), H Sutrianto, H Syafriadi Rahim dan sejumlah senior lainnya, kami selalu diingatkan untuk melakukan konfirmasi kepada pihak berkompeten sebelum naskah berita disampaikan ke meja redaksi. Supaya valid. Kata mereka lebih dari seperempat abab lalu, tugas 'kuli disket' itu hanya menyampaikan informasi yang sebenarnya.

Kami ‘tabayyun’ ke Mas Adi Sutrisno tadi, karena menurut informasi mantan pacar (istri kami), Sefniwita Idson, mobil dinas suami Mbak Tri Murti, BM 1174 DP, sudah meluncur meninggalkan kediamannya. Dan, besar kemungkinan beliau sudah ada di tempat pelaksanaan senam. Mas Adi Sutrisno memang ‘on time’ dalam mengikuti senam.

Selain mungkin karena faktor ‘darah jurnalistik’, kami ‘tabayyun’ ke Mas Adi Sutrisno, karena kata orang Inggris; ‘experience is the best teacher’. Pengalaman adalah guru yang terbaik.

Pasalnya, dahulu, ketika masih ‘mondok’ di Bagian Humas Sekretariat Daerah Bengkalis, pernah terjadi, di sekitar kediaman hujan turun deras, tapi di tempat senam sebaliknya. Tak setetes butir-butir air yang turun. Ternyata hujan kala itu cuma hujan lokal. Akibat hanya satu menggunakan referensi, absensi kami pun “dapat nilai A”, alias alpa atau tidak hadir.

Sejak itu, meskipun di sekitar rumah hujan sangat deras, kami selalu mencari informasi yang ‘A1’ di lokasi senam. Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sama atau tidak dengan fakta di sekitar rumah. Tujuannya tentu agar pengalaman ‘salah tafsir’ tersebut tak terulang lagi.

“Jangan hanya belajar dari pengalaman, pelajarilah sesuatu yang baik dari pengalaman,” kata Albert Einstein, ahli fisika dari Jerman dan Amerika Serikat (1879-1955).

“Tidak ada waktu yang terbuang percuma jika Anda menggunakan pengalaman dengan bijak,” ungkap Auguste Rodin, pengukir dari Perancis (1840-1917)

Sementara Henry Ford, produsen mobil dari Amerika Serikat (1863-1947) mengatakan; “Hidup adalah serangkaian pengalaman yang membuat kita menjadi lebih besar.”

“Keputusan terbaik datang dari pengalaman, meskipun kadangkala pengalaman tersebut datang dari keputusan yang buruk,” jelas Christian Slater, aktor dari Amerika Serikat kelahiran tahun 1969.

Kembali ke kata hujan. Menurut pengertian dalam ilmu meteorologi, hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan (Wikipedia). Sedangkan makna presipitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diantaranya ‘kandungan kelembapan udara yang berbentuk cairan atau bahan padat, seperti hujan, embun dan salju’.

Sedangkan dalam pengertian umum yang kami ketahui, hujan adalah peristiwa jatuhnya titik-titik air dari atmosfer ke permukaan bumi, baik itu secara alami atau buatan. Hujan juga merupakan siklus air di bumi.

Bagi umat Islam, hujan adalah berkah yang diberikan Allah SWT. Meskipun tak hafal, namun sengetahuan kami, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang artinya menjelaskan tentang hujan. Tak percaya? ‘Monggo’ tanya ustadz H Amrizall, H Ali Ambar, Awal Hasibuan, Muhammad Subli, Filusmanfilsuf Al Hasyimi atau pun Khairuddin Saleh.

Hujan memang berkah. Dari hujan yang turun kita pun dapat memetik banyak pelajaran hidup atau ilmu. Sesuai arti dalam salah satu ayat dalam Al-Qur’an, hujan turun bukan untuk “membunuh”. Tapi untuk menghidupkan, untuk menumbuhkan. Sebab, semua makhluk hidup, termasuk manusia, seluruh aktivitasnya sangat tergantung pada air.

Maknanya dan meskipun secara tersirat, melalui hujan yang diturunkan-Nya, Sang Khaliq, ingin mengingatkan kita, bahwa dimana pun kita berada, maka eksistensi kita harus ‘menghidupkan’. Harus menumbuhkan. Membawa berkah dan kebaikan.

Hujan turun menyapu debu. Membasahi tanah,dan menyegarkan udara. Secara tersirat, melalui hujan, Dia Yang Maha Ilmu, mengingatkan agar keberadaan kita dimana pun untuk memperbaiki. Untuk ‘amar ma’ruf nahi munkar’. Menjadi perekat nan menyejukan. Menghilangkan yang kotor.

Hujan turun mengikuti gravitasi bumi. Turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tak ada hujan yang turun sebalik. Melalui hujan, Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang’ juga mengajarkan kita untuk mengikuti aturan atau ketentuan. Kemudian, bila berada di ‘tempat yang tinggi’ berikan berkah kepada mereka ‘di tempat yang rendah’

Rintikan air hujan bisa melubangi sebuah batu. Bukan dengan kekuatan, tapi hanya dengan setetes demi setetes. Ketekunan tetesanlah yang membuat batu menjadi berlubang.

Melalui hujan yang diturunkan-Nya, Dia Yang Tak Berawal dan Tak Berakhir, mengajarkan kita makna ketekunan, keseriusan, kesungguhan atau pantang menyerah untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Dimana ada kemauan, inshaa Allah di situ ada jalan.

Hujan adalah kasih sayang. Seluas apapun lahan yang terbakar, dapat dipadamkannya. Hujan memang dapat memadamkan api nan membara. Melalui hujan, Allah SWT., mengajarkan kita bahwa kasih sayang bisa meluluhkan kebencian. Kelembutan dapat mengalahkan kekerasan.

Melalui hujan yang diturunkan-Nya, khususnya di saat musim kemarau, Dia Yang Maha ‘Iradat’, menghendaki siapa pun kita menjadi hamba-Nya yang kehadirannya dido’akan. Ditunggu-tunggu.

Masih melalui hujan, Dia Yang Maha ‘Baqa’, mengingatkan kita untuk memiliki visi jauh ke depan. Kemudian, berhati-hati dalam mengerjakan sesuatu. Mengetahui dan berpijak pada hukum sebab akibat. Dalam peribahasa, pesan-Nya itu setidaknya tersirat dalam peribahasa; ‘sedia payung sebelum hujan’.

Melalui nyanyian hujan, Dia Yang Maha Segala-galanya’ mengajarkan kita untuk sabar. Sebab, untuk melihat indahnya pelangi, siapapun kita tentu harus menunggu hujan berhenti.

Selain itu, dengan hujan yang turun, Dia juga memberikan ilmu bahasa sesuatu itu pasti ada batasnya. Kecuali Dia, sesuatu itu ada awal dan ada akhir, karena hujan tahu kapan ia turun dan juga bila harus berhenti.

Walau pun tersirat, melalui hujan memang banyak ilmu yang diberikan-Nya buat kita petik. Seperti pernah kami kutip dalam tulisan sebelumnya, salah satu ilmu dimaksud yang dipetik Firman Nofeki, penulis Indonesia kelahiran 1994, yaitu; “Dari hujan aku belajar bahasa air bagaimana berkali-kali jatuh tanpa sedikit pun mengeluh pada takdir.”

Wallahu a’alam bisawab!*****

Bengkalis, Negeri Junjungan
Ditulis dalam hujan


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar