Kami Baru Tahu, Orang Bebal Itu Ternyata Juga Bermanfaat

Bebal. Mungkin lantaran serumpun (Melayu), makna kata bebal di Bengkalis (Riau) dengan di tempat kami dilahirkan (Prabumulih, Sumatera Selatan), setali tiga uang. Tak ada ‘beza’ dan sama-sama kerab digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti bebal adalah sukar mengerti atau tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran). Sedangkan sinonim bebal ini adalah bodoh. Kalau begitu, samakah orang bebal dengan orang bodoh?

Rachmi Ramdhini, dalam tulisannya yang bertajuk “Jangan Jadi Orang Bebal, Jadilah Orang Bijak”, menegaskan, “Orang bebal itu sudah pasti bodoh. Tapi orang bodoh itu belum tentu bebal.”

Masih mengutip Rachmi Ramdhini, orang bebal pada dasarnya tak punya hati yang utuh, karena sebagian besar hatinya hancur. Berkeping-kepingnya hati orang bebal itu bukan dihancurkan orang lain, melainkan dihancurkan oleh sikapnya sendiri yang tak legowo (tak dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpanya dengan tulus hati).

Memang, menurut referensi lain, meskipun bodoh sinonim bebal, tetap antara orang bebal dengan orang bodoh tak sama. Orang bodoh karena belum tahu. Sedangkan orang bebal tak mau dikasih tahu. Dengan kata lain, orang bodoh bisa diajak jadi pintar, tetapi orang bebal tak dapat nak diajak menjadi ‘smartphone’. Meskipun kemana-mana membawa ‘smartphone’, bahkan sampai dua atau tiga buah.

Mengapa orang bodoh tak bisa jadi pintar? Karena orang bebal merasa dirinya lebih pintar. Jadi, kalau meminjam salah satu judul film Warkop yang disutradarai Arizal yang diproduksi tahun 1980, bebal ‘sami mawon’ dengan “Pintar-Pintar Bodoh”.

Mengapa orang bebal tak dapat jadi pandai? Mungkin apa yang dikatakan Imam Asy Syafi’i adalah jawabannya.

Kata Imam Asy Syafi’I; “Setiap penyakit pasti ada obat yang akan menyembuhkannya, kecuali sifat bebal dan keras kepala, ia hanya akan membuat orang yang ingin menyembuhkannya putus asa dan kelelahan.”

Dalam Biologi (Genetika), penyakit yang belum bisa diobati ini adalah penyakit-penyakit genetik. Menurut Teguh Haryo Sasongko, ahli genetika molekuler dari Universiti Sains Malaysia, penyakit-penyakit genetik ini ada tiga jenis. Yaitu, ‘single-gene disorder’, ‘chromosomal disorder’ dan ‘multifactorial disorder’.

Masih kata Teguh Haryo Sasongko yang dipublikasikan health.detik.com, pada pukul 15.30 WIB, Rabu, 10 Februari 2010, saat ini ketiga jenis penyakit genetik tersebut belum ada obat atau ‘treatment’ yang secara efektif dapat menyembuhkannya. Khususnya pada ‘single-gene disorder’ dan ‘chromosomal disorder’.

Terlepas dari uraian Teguh Haryo Sasongko yang juga kami tak paham betul, muncul pertanyaan; ‘Siapa yang termasuk orang bebal?

Bila dikait-kelindangkan dengan sejumlah kata yang punya kedekatan (susunan hurufnya) dengan kata bebal, orang bebal adalah orang yang ‘kebal’, ‘tebal’ dan ‘sebal’.

Kebal dimaksud tentu bukan tahan bacok atau tak mempan senjata maupun anti peluru. Tapi ‘tak makan cakap’ alias tak dapat nasihati. Kalau diberi wejangan, masih syukur kalau dapat masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Masih ada proses di dalamnya. Yang dutakutkan justru sama sekali tak masuk telinga. Baru dekat telinga sudah mengantul, memantul atau melenting.

Orang bebal biasanya tebal. Tentu tebal yang dimaksud di sini bukan tebal dompet, meskipun ada orang yang bebal berdompet tebal. Tapi tebal telinga. Maksudnya, tidak ambil pusing atau tidak acuh (terhadap makian, sindiran, dan sebagainya) atau tidak mau mendengar kata orang lain. Orang bebal biasanya juga tebal muka alias tidak tahu malu.

Karena ‘tak makan cakap -- (kebal) dan tebal (telinga dan muka) -- orang bebal selalu membuat orang lain sebal alias kesal hati atau mendongkol. Jika menggunakan sinonim sebal, yaitu dongkol, orang bebal akan menyebabkan orang lain gondok atau kecewa (menyesal) bercampur jengkel.

‘Pandia’ (bahasa Minang untuk orang bebal), dalam peribahasa, diantaranya ditamsilkan dengan kalimat; “Bodoh tak dapat diajar, pandai tak dapat mengajar”, atau “Berlagak pandai dan tak mau menurut bicara”.

Pernah mendengar atau membaca bagian kalimat dari sebuah peribahasa, yaitu “berjalan sampai ke batas”? Bebal tak demikian adanya. Sungsangannya. Setidaknya itulah jawaban Ibrahim An Nadzdzam ketika ditanya apa batas sifat bebal?

Menukil ustadz Fuad Al Hazimi (arrahmah.com), beliau (Ibrahim An Nadzdzam) menjawab; “Engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu yang tak memiliki batas”. Padanannya, batas sifat bebal itu kira-kira bagai langit nan tak bertepi.

Bagaimana sikap kita dengan orang bebal? Mungkin nasihat yang diterima Ibnu Abi Ziyad dari ayahnya, bisa dijadikan rujukan untuk mencerahkan dalam menyikapinya.

"Ayahku menasehati aku”, kata Ibnu Abi Ziyad, "Wahai anakku beriltizamlah engkau kepada para ahlul Ilmi, duduklah bersama-sama dengan mereka, dan jauhilah orang-orang bebal dan keras kepala, karena sesungguhnya tidaklah aku duduk-duduk bersama mereka lalu aku bangun meninggalkan mereka, kecuali setiap kali itu pula berkurang akalku."

Bolehkah mempercayai orang bebal? Nampaknya kalau mau mengikuti pesan bijak Imam Ibnu Ishaq, jangan sampai. Jangan pernah. “Never and never”.

Kata Imam Ibnu Ishaq, "Jika engkau mendengar kabar bahwa ada seorang kaya yang jatuh miskin, percayalah dengan berita itu. Jika ada berita seorang miskin mendadak menjadi kaya, percayalah. Kalau ada kabar bahwa seorang yang dulunya hidup tiba-tiba mati, percayalah. Tapi, kalau ada yang mengatakan bahwa ada orang bebal yang menggunakan otaknya, “don’t you believe”, “bengak tu”, atau jangan kau percaya!”

Hal senada dikatakan Imam Syu’bah: “Akal (ilmu) kita ini sangat sedikit, dan setiap kali kita duduk-duduk bersama orang yang lebih sedikit akalnya dibanding kita, maka ilmu yang sedikit itu pun akan hilang dari kita.”

Lalu, apa ciri nyata orang bebal? DIantaranya, tak pernah mau berusaha memperhatikan perkataan orang lain dan merasa dirinya paling benar. Kemudian, gemar mengolok-olok pihak lain, tak teratur dalam bertutur, suka ngeyel tapi tak jelas kata-katanya, berbelit-belit.

Selanjutnya, selain suka cengengesan tanpa rasa malu, orang bebal juga tak pernah mau menyimak pembicaraan orang lain. Ada saja yang dilakukannya jika orang lain tengah berbicara.

Adakah ‘pandia’ di lingkungan kerja kita? Bila merujuk keperibahasa “Dalam pisang setandan, sebuah ada juga yang busuk” atau “Dalam setandan kelapa, mesti ada yang komeng”, jawabnya dapat diterka sendiri.

Meminjam istilah yang pernah dituliskan Mas Adi Sutrisno di baliho besar di depan Dinas Komunikasi, Informatika dan Satistik Kabupaten Bengkalis, ciri orang bebal (khususnya di kantoran), dia mengidap ‘AIDS’. Tapi bukan AIDS singkatan dari 'Acquired Immune Deficiency Syndrome' yang disebabkan virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Tapi AIDS yang Mas Adi Sutrisno itu adalah kependekan dari ‘Alpa, Izin, Dikit-Dikit Sakit’. Maksudnya, isi absensinya di kantor kebanyakan, ‘Alpa, Izin dan Sakit’, Bro!.

Bagaimana perasaan bila di sebuah tempat kerja ada orang bebal? Miss Aswea dalam blog pribadinya yang dipublikasikannya pukul 06.23 WIB, Jum’at, 5 April 2013, menuliskan hal itu. Bila diterjemahkan, maksudnya seperti di bawah ini:

“Dalam kondisi apapun di tempat kerja, mesti akan rasa sangat mengotori sekali kalau ada ‘species’ yang disebut di atas (orang bebal) dalam tempat kerja kita. Dah lah tak ‘reti’ (tahu), berlagak pandai pulak tu. Bila ditegur, mulut muncung itik macam boleh ikat. Bila disuruh mengerjakan sesuatu, hasilnya hampehhhhh (tak ada).”

Karena itu, sangat bijak tunjuk ajar yang menasihati dalam peribahasa ‘baik berseteru dengan orang bijaksana dari pada bersahabat dengan orang bebal’ diterapkan di tempat kerja.

Dan yang tak kalah bijak untuk diimplementasikan di tempat kerja adalah pesan Ali bin Abi Thalib: “The moment you start arguing with an ignorant fool, you have already lost” (saat kamu mulai berdebat dengan orang bodoh yang bebal, kamu telah rugi.)

Terlepas dari uraian di atas seraya mengutip arti surah Sad ayat 27: "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah", maka begitu pula dengan keberadaan ‘ignoramus’ (orang bebal) sebenarnya.

Apa memang ada? Bagi yang seakidah dan yakin kebenaran firman-Nya tersebut, tentu juga meyakini seyakin-yakinnya jika orang bebal juga ada faedahnya.

Setidaknya, “diutusnya” orang bebal ke tempat kerja atau di lingkungan tempat tinggal kita, agar eksistensinya dijadikan ‘free coach’. Dijadikan pelatih tanpa bayaran (gratis) untuk meningkatkan kesabaran orang yang benar. Nampaknya hanya ini hikmahnya yang kami ketahui.

Jadi, sekesal apa pun kita dibuat orang bebal, haruslah tetap bersabar, karena Allah SWT., senantiasa beserta orang-orang yang sabar.

Sebagai penutup dan meskipun baru tahu jika orang bebal itu juga ada manfaatnya, rasanya tak salah bila kami mengajak, siapapun kita, jangan sampai jadi orang degil (bebal).

Sebab, kata Titon Rahmawan, penulis asal Magetan (Jawa Timur), bebal adalah wujud lain dari kebodohan. Dan, kebodohan itu adalah batu pejal (padat keras), yang dibuang orang ke dalam sungai karena menghalangi orang yang akan lewat.

“Hidup orang bebal jauh lebih buruk dari kematian. Orang-orang bebal dan dungu hanya akan menjadi beban bagi kehidupan, karena seumur hidup mereka tak pernah mau belajar,” kata Tinton Rahmawan.

Wallahu a’alam bisawab!*****

Bengkalis, Negeri Junjungan
Rabu, 31 Januari 2018.

Note:
Bagi yang tak percaya bahwa Allah SWT., senantiasa bersama orang-orang yang sabar, silahkan 'Coklit' tanya ustadz H Amrizal, H Ali Ambar, Awal Hasibuan, Muhammad Subli, Filusmanfilsuf Al Hasyimi atau Khairuddin Saleh.

 


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar