‘Hoax’ dan 20 Cara Meningkatkan Kecerdasan Intelektual

Berita. Sinonim atau persamaannya, diantaranya; warta, kabar dan informasi.

Sesuai definisinya, berita dan fakta ibarat dua sisi mata uang. Karena berita adalah cerita tentang kejadian atau peristiwa. Yang namanya kejadian atau peristiwa tentu memang benar, riil, atau sungguh adanya. Bukanlah ilusi, angan-angan, khayal, fantasi, atau fatamorgana.

Walau berita adalah fakta. Namun tak semuanya boleh diinformasikan ke publik. Bukan hanya oleh orang awam, seorang jurnalis sekalipun juga demikian. Tetap mesti dipilih dan dipilah. Harus disaring atau difilter. Sepengetahuan kami dan sesuai kode etik jurnalistik, selain berita bohong dan fitnah, yang tak boleh dibuat seorang wartawan adalah berita sadis dan cabul.

Sedangkan bagi ‘citizen journalism’ hal perlu diketahui dan sebagaimana Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), diantaranya bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak, diantaranya dilarang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sanksinya? Bagi yang melanggarnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sekedar informasi, untuk mengetahui larangan lainnya dan sanksinya selain Pasal 45A ayat (2) di atas, silahkan baca Pasal 45 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 45A ayat (1) dan Pasal 46 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE tersebut.

Bohong. Seperti juga berita, kata bohong juga memiliki sinonim. Diantaranya palsu atau dusta. Adapun maknanya, tak sesuai dengan hal yang sebenarnya.

Sejauh yang kami ketahui, hingga setakat ini tak ada bohong yang memiliki fakta. Dengan kata lain, bohong dan berita senantiasa saling meniadakan.

Meskipun antara berita dan bohong bersimbiosis parasitisme, tapi di sisi lain keduanya juga dapat bersinergi. Kolaborasi kedua kata tersebut membentuk istilah yang belakangan ini ‘booming’ alias cukup familier kita dengar atau baca. Yaitu, berita bohong atau ‘hoax’ (bahasa Inggris).

Mengutip Wikipedia.org, ‘hoax’ adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Oleh sebab itu, ‘hoax’ tak sama dengan kabar angin, kabar burung, isu atau desas-desus.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setidaknya ada dua istilah yang sama persis artinya dengan ‘hoax’ atau berita bohong.

Kalau menggunakan kata berita, ‘hoax’ ini sama maknanya dengan ‘berita rekaan’ atau berita yang dibuat-buat untuk tujuan tertentu.

Sedangkan bila menggunakan kata kabar, sinonim ‘hoax’ adalah ‘kabar dengkul’ yang bermakna kabar bohong atau berita yang tak benar.

Sementara bila menggunakan alat penyampai berita, kiasan untuk ‘hoax’ adalah ‘radio dengkul’. Mengapa hanya disebut ‘radio dengkul’? Mungkin karena saat kiasan ini dibuat, televisi (TV) apalagi TV kabel, belum ada. Jika ada, bisa jadi ‘hoax’ dikiaskan juga dengan ‘televisi dengkul’ atau ‘TV dengkul’.

Mengapa ‘hoax’ dalam KBBI disebut ‘kabar dengkul’? Karena selain lutut, dengkul juga bermakna kosong, bohong atau palsu.

Dalam anatomi manusia, lutut adalah sendi yang menghubungkan femur (tulang paha) dan tibia (tulang kering). Sebagai penghubung antar tulang, sebagaimana juga sikut, lutut hanya dapat bergerak satu arah (sendi engsel). Sangat terbatas.

Bagi manusia, disamping sebagai sendi yang menghubungkan femur dan tibia, dengkul merupakan organ yang juga dijadikan “cermin” kecerdasan intelektual atau IQ (intelligence quotient) seseorang. Sayangnya, bukan dalam artian nan positif (pintar), melainkan sebaliknya, negatif (bodoh). Hal ini terdapat dalam kiasan ‘otak dengkul’ atau ‘otak kok ditaruk di dengkul’.

Mengapa (maaf) orang bodoh ditamsilkan ‘otak dengkul’ atau 'otaknya diletakkan di dengkul'?

Bisa jadi karena otaknya tidak difungsikan/berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya seperti dengkul, cuma bisa bergerak sangat terbatas, searah. Otaknya (akalnya) tak sehat.

Kiasan ‘otak dengkul’, bila menggunakan nama hewan, persamaannya, diantaranya ‘otak Udang’. Sedangkan orang yang memilik ‘otak Udang’ ini kerab dikiaskan dengan Kerbau dan Keledai.

Mengapa Udang, Kerbau dan Keledai dijadikan kiasan untuk orang bodoh? Soal ini kami tak membahasnya ditulisan ini. Terlalu panjang untuk diuraikan. Inshaa Allah di lain waktu.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menebarkan ‘hoax’ itu tentu orang yang hobinya berbohong. Orang yang ‘otaknya diletakkan di dengkul’. Orang yang kosong (bodoh). Setidaknya dia tak tahu tentang mana yang baik dan mana yang tak elok, meskipun sebenarnya dia tahu.

Lantas bagaimana dengan orang yang mempercayai berita ‘hoax’ tersebut, seperti memberinya tanda like (jempol ke atas) atau membagikannya ke temannya melalui media sosial?

Jawabannya terdapat dalam salah satu hadits yang kerab disampaikan ustadz H Amrizal, H Ali Ambar, Awal Hasibuan, Muhammad Subli, Filusmanfilsuf Al Hasyimi dan Khairuddin Saleh; “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka”. Setali tiga uang, seringgit si dua kupang.

Atau, kalau meminjam istilah dalam dunia persilatan, antara pembuat dan yang mempercayai berita ‘hoax’, keduanya “seperguruan” dan dengan tingkat kemahiran keduanya (dalam berbohong) paling banter sama. Tapi sangat besar kemungkinan yang membuat berita ‘hoax’ ‘seranting lebih tinggi, selangkah lebih dahulu’ dari yang mempercayainya.

Pasalnya, dalam kondisi normal (tanpa dibantu alat atau mesin), air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke yang lebih rendah. Dari hulu ke hilir, dari hulu ke muara. Tak menyungsang.

Kemudian, bagaimana supaya kita tak termasuk golongan mereka (penikmat ‘hoax)? Jawabnya, (meminjam slogan Yamaha) kita harus ‘semakin di depan’ (kian cerdas) dibandingkan mereka.

Supaya bisa ‘semakin di depan’, mengutip Rokcy Gerung, Dosen jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia kelahiran Manado, 20 Januari 1959, IQ yang kita miliki harus ditingkatkan.

“Naikan IQ Anda dan ‘hoax’ akan turun,” ujar Rokcy Gerung, menjadi salah satu nara sumber di ILC TvOne pada Selasa, 29 Oktober 2017 yang mengangkat tajuk “Halal Haram Saracen.”

Pertanyaan selanjutnya, bisakah IQ seseorang ditingkatkan? Jawabnya tentu bisa. Jika tidak, tak mungkin Rocky Gerung menawarkan solusi tersebut. Kalau tak bisa, solusinya itu tentu ‘hoax solution’.

Menukil teknikhidup.com, berikut 20 cara yang sudah teruji untuk meningkatkan IQ. Yaitu, senantiasa memulai aktivitas dari menentukan tujuan, berangkat dari membahas defenisi, membaca, mengetahui ciri-ciri dari sesuatu, dan senantiasa menghitung.

Kemudian, senantiasa konsentrasi pada satu hal dulu, yang cukup, menulis, beranalogi, mempelajari bahasa baru, mengonsumsi makanan yang sehat, berpikir positif, penasaran, dan senantiasa berolahraga.

Selanjutnya, senantiasa berpikir kreatif, melibatkan indera, mencoba hal baru, berkasih sayang, bermain puzzle, dan senantiasa mengevaluasi.

Untuk mengetahui uraian rinci masing-masing cara meningkat IQ tersebut, dapat dibaca sendiri melalui smartphone masing-masing. Kapan dan dimanapun.

Caranya, buka aplikasi ‘mbah Google’. Kemudian ketik “20 cara jitu tingkatkan IQ”. Selanjut akan muncul artikel yang ditulis Mufakir Ahmad, dengan judul; “20 Cara Terbukti Meningkatkan IQ, Hingga Cerdas-Cemerlangnya Anda Sulit Disaingi”.

Bila cara tersebut sudah diikuti dengan benar dan jaringan ada, tapi tak berhasil, maka sebelum mengulanginya lagi, cek dahulu paket internet Anda.

Sebab, mengutip kata-kata yang kerab diselipkan ustadz H Abdul Somad (UAS) hampir dalam setiap ceramahnya yang kami ikuti di youtube.com, penyebabnya pasti smartphone Anda tak ada paket internetnya. Segera isi ulang dan ulangi lagi cara tersebut, inshaa Allah berhasil.

Terakhir, karena tulisan tak bermaksud dan ditujukan negatif kepada siapapun, kami berharap jangan ada yang tersinggung atau marah usai membacanya. Apalagi sampai marah besar.

Mengapa? Karena, kata Albert Einstein (ahli Fisika dari Jerman dan Amerika Serikat 1879-1955); “Kemarahan besar hanya ada di dalam dada orang yang bodoh.”

Wallahu a'lam bishawab!*****

Bengkalis, Negeri Junjungan
Ahad, 21 Januari 2018

 


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar