Sirih, “Daun Beradat” dan Kita Hari Ini

SIRIH HIJAU. Rasanya tak ada orang, lebih-lebih ‘budak’ Melayu yang tak kenal tanaman yang tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain yang nama ilmiahnya Piper betle ini.

Selain digunakan sebagai tanaman obat (fitofarmaka), sirih memang sangat berperan dalam kehidupan dan merupakan “daun beradat” (banyak digunakan di berbagai upacara adat).

Di Indonesia, sirih merupakan flora khas provinsi Kepulauan Riau. Masyarakat provinsi dengan semboyan ‘Berpancang Amanah Bersauh Marwah’ ini sangat menjunjung tinggi budaya upacara makan sirih khususnya saat upacara penyambutan tamu dan menggunakan sirih sebagai obat berbagai jenis penyakit

Di rumah kami, di Jalan Pertanian, Gang Nangka, RT 001/RW 005 Desa Senggoro, Kecamatan Bengkalis, sirih merupakan salah satu tumbuhan yang kami tanaman. Jumlahnya cukup banyak. Bagi yang membutuhkan silahkan ambil. Tapi tentunya tak bisa ‘delivery order’ atau pesan antar. Harus ‘jemput bola’, petik sendiri sesuai keperluan. Percuma alias gratis. Hehehehehe…..

Mengapa kami menanam sirih? Itulah salah salah satu pertanyaan yang kerab dikemukakan seorang karib atau jiran tetangga yang memintanya untuk berbagai keperluan.

Jawabnya tentu bukan sebatas untuk peneduh tempat parkiran dari sengatan mentari petang atau sebagai Toga (tanaman obat keluarga). Tetapi karena banyak falsafah hidup yang diajarkan tanaman yang daunnya dapat dijadikan obat mimisan ini.

Sirih yang oleh orang Aceh disebut ‘ranub’ ini adalah tanaman merambat, tapi bukan parasit atau benalu. Tidak merusak pohon rambatannya, tapi bahkan memberikan keindahan. Menumpang, namun tak menyusahkan. Tidak merugikan yang ditumpangi.

Daun sirih, jika di bolak balik rupanya memang berbeda. Tapi jika digigit rasanya sama. Meminjam istilah Honda, maknanya ‘One Heart’ atau satu hati. Kita tetap harus bersatu dalam perbedaan. Tetap menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Lebih-lebih sebagai masyarakat kabupaten berjuluk Negeri Junjungan ini.

Selain itu, daun sirih juga berbentuk simbol hati. Simbol hati adalah simbol yang sejak lama digunakan untuk menunjukkan spiritualitas, emosi, moral. Pada masa lalu hati juga sebagai pusat kecerdasan manusia.

Dalam seni dan cerita rakyat tradisional Eropa, simbol hati biasanya berwarna merah. Warna ini melambang darah dan di beberapa negara warna merah ini melambangkan semangat, hasrat, dan emosi yang kuat.

Kemudian, daun sirih merupakan salah satu daun tumbuhan yang mudah disusun. Meskipun ujung daun runcing, tapi sejauh yang kami ketahui, belum ada yang tergores dibuatnya. Runcing tapi lembut, lancip tapi tidak melukai.

Disamping daun pemersatu, sirih adalah lambang cinta kasih. Misalnya saja dalam masyarakat Melayu, selain untuk menyambut tamu, sirih selalu tampil dalam upacara, merisik, meminang, pernikahan, dan berbagai upacara lain.

Masyarakat Jawa pun juga memiliki ritual yang memberi ruang pada daun sirih ini. Dalam upacara pernikahan adat Jawa, daun sirih merupakan salah satu bawaan wajib dalam ritual seserahan. Maknanya, yakni sebagai harapan kesejahteraan bagi calon kedua mempelai.

Dalam ritual pernikahan Jawa yang masih menggunakan sirih ialah ‘balangan gantal’, di mana kedua mempelai saling melemparkan lintingan sirih. Tentunya lengkapi dengan buah pinang, kapur sirih, gambir, dan tembakau hitam. Semua komponen tersebut dibungkus dengan daun sirih dan diikat mengunakan benang ‘lawe’.

Kedua mempelai kemudian saling melemparkan lintingan sirih yang disebut dengan ‘gantal’ ini. Ritual ‘balangan gantal’ ini diyakini menggambarkan sepasang pengantin yang sedang saling melempar kasih. Saling memberi kasih.

Bukan hanya dalam adat Melayu dan Jawa, sirih memang hampir selalu tampak dalam beragam kegiatan adat di penjuru Indonesia. Mengapa bisa demikian?

Salah satu alasannya, menurut orang Melayu, daun sirih yang berbentuk pipih ini merepresentasikan sifat rendah hati, suka memberi, juga senang memuliakan orang lain. Makna ini ditafsirkan dari cara hidup sirih yang tumbuh merambat, tapi bukan benalu atau parasit.

Sudahkah masing-masing kita seperti “daun beradat”? Jika belum, wajar saja jika saat ini kita masih seperti bait-bait dalam lagu ‘Engkau Begini Aku Begitu’ ciptaan Rinto Harahap (Alm) yang dipopulerkan Broery Marantika (Alm) di tahun 1980an; “Kita berjanji, kita bersama, kita bersatu bergandeng tangan, membuka pintu, buka jendela bersama-sama’, tapi itu hanya ‘Di dalam tidur, di dalam doa’.

Sementara ‘Di alam nyata apa yang terjadi’? Ternyata ‘Buah semangka berdaun sirih’. Engkau tetap begini, aku pun tetap begitu. Belum bisa “Seikat bagai sirih”.

Wallahualam bissawab! *****

Bengkalis, Negeri Junjungan
Ahad, 14 Januari 2018


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar