HAK JAWAB: AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR DALAM JURNALISTIK

Amar makruf nahi mungkar adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab.

Gabungan dua kata yang bersifat nonpredikatif tersebut berisi perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah.

Menurut sebuah literatur, dalam ilmu fikih klasik, perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim.

Walau tak ditulis dalam frasa tersebut, dalam dunia jurnalistik juga ada perintah atau aturan demikian. Tegakkan yang benar, larang yang salah.

Dalam regulasi maupun landasan moral dan etika profesi wartawan, hak dan kewajiban untuk amar makruf nahi mungkar, diatur dengan jelas dan tegas.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 misalnya. Ada beberapa hak dan kewajiban.

Baik itu kewenangan (hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu) oleh seorang wartawan maupun kita yang bukan pewarta (yang diberitakan).

Hak tersebut adalah Hak Tolak, Hak Jawab, dan Hak Koreksi. Sedangkan kewajiban adalah Kewajiban Koreksi.

Hak Tolak, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 40 Tahun 1999, adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Sedangkan Hak Jawab, seperti tertuang dalam Pasal 1 angka 11 merupakan hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Sementara Hak Koreksi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Adapun Kewajiban Koreksi sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 14, adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Kemudian, dalam Kode Etik Jurnalistik, Hak Jawab dan Hak Koreksi itu dijelaskan kembali dalam Pasal 11, yang ditambah (2) dua kata, yakni “secara proporsional”.

Yang dimaksud “secara proporsional”, sesuai penafsiran Pasal 11 adalah “setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki”.

Khusus untuk Hak Jawab, mengapa adanya hak tersebut?

Utamanya sebagaimana dalam profesi apapun, wartawan itu juga manusia.

Namanya juga manusia tak ada yang sempurna. Karena punya keterbatasan, tentu bisa salah, keliru, alpa, khilaf, dan sebagainya.

Menggunakan Hak Jawab tidak diharamkan. Malah sangat dianjurkan.

Mengapa kita dihalalkan menggunakan hak jawab?

Karena, khususnya dalam agama yang kami yakini (Islam), sesama muslim itu harus saling nasihat menasihat itu dalam kebenaran.

Begitu pula dengan pemeluk agama lain. Antar sesama manusia. Mesti saling menghormati dan mengasihi.

Jadi, menggunakan Hak Jawab itu esensinya bukan sebatas meluruskan informasi yang keliru.

Lebih dari itu. Yakni, memberikan nasihat. Saling mengajak untuk amar makruf nahi munkar.

Firman Allah Swt., dalam surat Al-’Ashr (103) ayat 1 s.d. 3, yang artinya, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Intinya, kalau diwartakan keliru oleh seorang wartawan yang menulis sebuah berita, kita tak boleh langsung marah. Apalagi mencak-mencak dibuatnya.

Tapi, segera gunakan Hak Jawab. Berikan klarifikasi. Segera nasihati, karena menasihati itu adalah fitrah.

Amar makruf nahi munkar itu memang indah.

Wallahualam bisawab! #####


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar