JANGAN JADI ORANG “KEBAS”

KEBAS.

Dulu, di awal-awal bermastautin di Kabupaten Bengkalis, di tahun 1991, kami kerab mendengar kata kebas.

Namun, akhir-akhir ini, kata itu sudah jarang kami dengar.

Kalau diingat-ingat, kami sendiri mungkin sudah hampir satu dekade tak mendengar kata itu dituturkan. Begitu juga dalam bentuk tulis.

DI minggu terakhir September lalu, kata kebas kembali kami baca. Tepatnya Rabu, 25 September 2019.

“Badu (bukan nama sebenarnya) tak jadi berangkat, Pak! Tanganya kebas”, ujar sejawat kami melaporkan jika ada anggota rombongannya batal melakukan perjalanan dinas.

Pemberitahuan itu disampaikannya melalui layanan aplikasi WhatsApp (WA) mesengger, pada pukul 14.17 WIB, di Rabu tersebut.

Kebas merupakan salah satu lema atau entri dari 127 ribu lebih kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring).

Artinya, berasa kaku kakinya (karena lelah); kesemutan (tentang kaki, tangan, dan sebagainya), dan lambai.

Kebas dalam tulisan ini bukan membahas tentang makna kebas dalam KBBI Daring.

Tapi dalam pengertian yang dipelesetkan: “karena engkau banyak akal saja”. Suka akal-akalan. Senang dengan tipu daya. Suka dusta atau bohong. Pandai berdalih.

Dalam Islam, agama yang kami yakini, sikap yang harus diperjuangkan seorang muslim adalah menjauhi dusta atau bohong.

Sebuah catatan yang pernah kami baca menyebutkan, di dalam Alquran ada 250 ayat yang membahas dusta. Sedangkan kata bohong dalam Alquran terdapat pada 25 ayat.

Masih mengutip referensi yang sama, jika ditotal, maka bahasan tentang bohong atau dusta di dalam Alquran ada 284 ayat.

Mengapa Islam melarang umatnya pembohong?

Orang suka berbohong akal pikirannya akan mati. Hati nuraninya terkubur, sehingga keberadaannya hanya menjadi beban masyarakat, biang kerusakan, dan sumber kegaduhan. Menjadi pangkal permulaan kekacauan. Jadi parasit.

Menggunakan bahasa Latin, orang demikian biasanya menjadi Cucumis sativus atau mentimun. Tentu mentimun dimaksud ketimun bungkuk.

Sudah nasib ketimun bungkuk, selain tak masuk dalam timbangan, juga tak dibilang dalam hitungan.

Nasib mentimun bungkuk memang malang. Bukan saja tak tersaji dalam hidangan, tetapi juga tiada henti dicaci orang. Tak ada yang tertarik meliriknya. Tak cantik walau tetap dipetik.

“Hilang tak bercari, lulus tak berselami”, mungkin peribahasa ini bisa dipakai buat menggambarkan betapa malangnya nasib mentimun bungkuk.

Bila judul lagu, sinonim mentimun bungkuk adalah “Kekasih yang Tak Dianggap” dari Armada Band yang kian populer setelah dirilis ulang Pinkan Mambo.

Seperti lirik lagu Pinkan itu, eksistensi mentimun bungkuk dalam sebuah komunitas memang laksana mentari, tapi tapi tak menghangatkan.

Bak pelangi, tapi tak memberi warna. Bagaikan bulan, tapi tak menerangi malam. Umpama bintang yang hilang ditelan kegelapan.

Orang demen kebas, memang seperti kentut. Ada tapi tiada, tiada tapi ada, tapi baunya mengganggu, merusak suasana orang lain.

Jangan jadi orang kebas. Seperti tangan yang kesemutan, jangankan mengerjakan yang lain, untuk melambai saja pun susah dibuatnya.

Jangan jadi orang kebas tangan, selain sulit melambai, orang lain pun tak mau mengajak walau lewat lambaian kecil.

Sempena peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-91 tahun 2019, mari bersatu untuk maju.

Mari kibaskan jauh-jauh ke tepi sifat kebas. Apalagi perilaku kebas yang suka mengadu kibas. #####

Bengkalis, 19 Oktober 2019


Opini Lainnya

Tulis Komentar