TERNYATA MARAH ITU JUJUR?

SELASA, 17 September 2019

Kemarin, kami marah semarah-marahnya kepada sejawat di Bidang SDKI Diskominfotik Kabupaten Bengkalis.

Seingat kami, itulah marah yang termarah dan mungkin “terparah” yang pernah kami lakukan, setelah kurang lebih 2 tahun menunaikan amanah di sana.

Dan seingat kami pula, marah kemarin itu adalah marah yang terlama kami sampaikan.

Mungkin hampir menyamai waktu satu babak dalam pertandingan sepakbola.

Tak ada asap tentu tak ada api. Begitu kata sebuah ungkapan. Meskipun sebenarnya ada api yang tak “barasok”. Yakni, api cinta nan membara.

Begitu juga mengapa kemarin kami marah semarah-marahnya. Meskipun sebab musababnya tentu dan harus tetap “off the record”.

Tidak banyak orang bisa transparan memperkatakan rasa hati atau pikiran yang mengandung penilaian negatif terhadap orang lain.

Demikian pula terhadap sesuatu hal entah itu adalah hal yang tak disenangi, yang dibenci, mengdongkolkan, mengecewakan, menjengkelkan, menimbulkan kebencian, membuat sakit hati, dan seterusnya. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Kata-kata yang tercetus dalam amarah seorang biasanya menyakitkan. Bisa membuat telinga yang dimarahi menjadi panas. Bahkan dapat pula membuat air mata mengalir deras.

Lantas, dari manakah asal kata-kata atau kalimat yang diucapkan seseorang saat dia marah?

Menurut sejumlah referensi, marah adalah luapan konteks diri seseorang yang sesungguhnya.

Pada saat marah, ke-aku-an seseorang melambung tinggi ke posisi teratas di jiwanya. Menghilang-lenyapkan pertimbangan terhadap perasaan orang lain yang dimarahinya. Segala pertimbangan diabaikan. Tak ada ruang sedikit pun di saat itu.

Mengapa demikian? Karena marah adalah ruang bagi ke-aku-an seseorang yang tak munafik. Jujur sejujur-jujurnya. Tak ada kebohongan di sana. Kalau emas, 24 karat.

Karena, ketika seseorang marah, sebenarnya pada saat itu ianya tengah menyampaikan hal yang paling jujur tentang kata dan isi hatinya nan terdalam.

Konon, kalimat atau rangkaian kata-kata yang terucap dalam amarah seseorang, merupakan kalimat atau untaian kata-kata terjujur dari kedua celah bibir seorang di antara semua kejujuran yang dapat dilafazkannya.

Meskipun tak hendak memberi tunjuk ajar, marahkan kalau sesuatu memang mesti dimarahkan. Karena kata sebuah temuan baru, orang yang paling bahagia ternyata bukanlah orang yang tak pernah menunjukkan amarahnya.

Meskipun tak hendak memberi tunjuk ajar, marahkan kalau sesuatu memang mesti dimarahkan. Tapi marahlah yang membangun. Bukan marah yang menghancurkan. Karena marah itu juga seperti angin yang bisa membawa sebuah kapal berlayar sampai ke dermaga nan dituju.

Meskipun tak hendak memberi tunjuk ajar, marahkan kalau sesuatu memang mesti dimarahkan. Tapi marahlah dalam kejujuran, meskipun kita tentu tak pernah menghendaki adanya kemarahan hanya untuk sebuah kejujuran.

Meskipun tak hendak memberi tunjuk ajar, jadilah orang yang pemarah, tapi bukan orang suka marah-marah. Apalagi menjadi orang yang beraliran “sing penting iso” (bahasa Jawa) marah-marah, tanpa mula, muara dan arah.

Meskipun tak hendak memberi tunjuk ajar, jadilah orang yang pemarah dalam maaf, meskipun yang terakhir ini mungkin sangat dan sangat sulit untuk kita lakukan. *****

Duri, room 304 Surya Hotel


Tim Redaksi

Opini Lainnya

Tulis Komentar