Selasa, 20 Maret 2018 | 09:22:10 WIB | Dibaca : 2756 Kali

Kami Memang Belum Bisa Mengatakan Durian dan Rambutan Tanpa Duri dan Rambut

Kami Memang Belum Bisa Mengatakan Durian dan Rambutan Tanpa Duri dan Rambut Teks foto: Johansyah Syafri

Meskipun awalnya tak ada yang mengajak kami ngopi dalam komentar-komentar tersebut, namun ketika membaca tanggapan-tanggapan terhadap tulisan kami yang bertajuk BERSYUKUR ADALAH “TANGAN DI BAWAH” NAN TERBAIK, kami jadi teringat pula dengan 7 (tujuh) kata awal dalam alinea ketiga mukadimah/pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi; “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ....”

Kemudian, kami ingat juga sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila, sepengetahuan kami, adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia.

Pancasila terdiri dari dua kata dari Sanskerta: ‘panca’ berarti ‘lima’ dan ‘sila’ berarti prinsip atau asas.

Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lalu kami ingat pula bunyi Pasal 29 ayat (1) UUD 1945: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa."

Terlepas dari alinea ketiga Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 serta Pancasila yang disebutkan di atas, sesuai akidah yang kami yakini (Islam), pastinya tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi di alam ini atas izin dan kehendak Allah SWT.

Tak ada daun yang jatuh dan pasir yang bergeser di lautan, debu yang beterbangan di udara, tanpa izin-Nya. Semuanya ada dalam pengetahuan dan genggaman Sang Khaliq.

Begitu pula, ketika kita dipertemukan dengan orang-orang yang menyenangkan dan menyebalkan dalam hidup ini, juga bukanlah tanpa maksud.

Oleh sebab itu, kami juga yakin sekali, mau lewat pintu mana pun rezeki (segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan) yang kami dapat, besar atau kecil, mau melalui gaji atau insentif dan sebagainya.

Mau lewat pintu mana pun. Entah itu pintu APBD, APBN mau pun pemberian teman, pimpinan atau jiran tetangga, orang yang lebih kaya atau lebih miskin dari kami dan sebagainya, semua berasal dari-Nya. Muaranya hanya ada pada-Nya.

Mengapa kami sangat yakin akan hal tersebut?

Tersebab sampai saat ini kami belum bisa mengatakan durian tanpa duri atau rambutan tanpa rambut. Kami juga belum pernah melihat kereta api berjalan tanpa rel. Atau mengutip Prof Zainal Abidin Ahmad, hingga saat ini kami tak bisa memisahkan manis dengan gula.

Kemudian, kami juga ingat ucapan filsuf Jerman Immanuel Kant yang pernah kami baca dalam sebuah tulisan Prof Yuzil Izha Mahendra, yang mengatakan: “Barang siapa mencari sistem moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama.”

Kami berkeyakinan bahwa pandangan Kant itu bukan saja sejalan dengan falsafah negara kita, Pancasila maupun Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ketiga tersebut, tetapi ada dalam agama yang kami yakini. Sudah ada dan diajarkan agama yang kami yakini jauh sebelum Kant dilahirkan (lahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724).

Selain itu, Kant yang meninggal di Königsberg, Kerajaan Prusia, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun, juga mengatakan: “Tidak bersyukur adalah dasar kejahatan.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”, artinya "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali."

“Sebelum kita kembali kepada-Nya, segala sesuatu dalam hidup ini juga harus kita kembalikan kepada-Nya. Kalau bisa jangan pernah mengeluh, banyaklah bersyukur, Nak!” begitu salah satu pesan almarhum Ebak (Ayah) kami.

Pesan yang alhamdulillah tetap kami ingat dan coba terapkan sampai detik ini, meskipun harus kami akui mungkin implementasinya belum seperti yang almarhum harapkan.*****